Postingan

Menampilkan postingan dengan label esai

Sampah dan Masa Depan Kita

Gambar
Setiap kali melewati Jalan Layang Pidie Jaya, kita akan disuguhi pemandangan yang menakjubkan: hamparan sawah, Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya, pegunungan membiru di arah selatan disertai garis putih kecil air terjun Malem Diwa, dan . . . sampah yang bertebaran di sepanjang Jalan Layang. Jelang pukul tujuh, seorang lelaki bersama seorang perempuan akan berkeliling antara Jalan Layang sampai depan Gedung Dewan Rakyat Pidie Jaya. Keduanya membawa sapu. Dan entah sampai pukul berapa mereka membersihkan ruang jalan di seputaran Istana Pidie Jaya. Apa yang saya saksikan mungkin bagi banyak kita bisa jadi hanya sesuatu hal yang biasa saja. Sesuatu yang lumrah terjadi. Mentari beranjak naik ke langit di pagi hari dan tenggelam perlahan di ufuk barat. Ombak yang menghempas pantai tak mengenal lelah. Daun-daun yang gugur berganti tunas-tunas yang muda. Alam telah diatur dengan suatu sistem yang demikian sempurna. Barangkali si bapak dan

Kawanan Singa di Sekitar Kita

Gambar
Nonton Wild West? Kehidupan kawanan singa di padang rumput Afrika? Bagaimana seandainya kawanan singa bersua dengan kawanan singa lainnya? Mereka akan bertarung dan yang kalah akan pergi mencari kawasan perburuan lain. Kehidupan manusia purba ataupun ketika manusia belum mengenal tulisan barangkali juga seperti itu. Pada waktu tertentu para lelaki akan bertarung sebagai prasyarat untuk menjadi kepala suku. Atau dalam fase yang lain untuk menjadi pemimpin komunalnya, yang terkuat akan mendapatkan kehormatan menikahi putri kepala suku. Sering metode mengadu yang terkuat guna mendapatkan yang paling kuat dilakukan untuk memperkuat trah dari kepala suku.  Di zaman modern, sekutu terdiri dari banyak negara yang mempunyai koloni-koloni di Asia, Afrika, Australia dan Amerika Selatan. Sementara negara-negara yang dianggap berfaham fasis terdiri dari negara-negara yang muncul sebagai raksasa ekonomi baru yang juga ingin memiliki sumber-sumber bahan industri seperti yang dimiliki negara-negara s

Kunci Pendidikan: Orangtua, Guru, dan Masyarakat

"Kenapa baru hari ini hadir?" tanya saya pada seorang siswa yang minggu ini baru sekolah. Padahal ujian semester pertama tahun pelajaran 2021/2021 tanggal 29 November 2021. "Karena bentar lagi ujian, Pak?" jawab si anak. Dialog di atas bukan rekaan, tapi kenyataan. Dan saya hanya ingin menggambarkannya kepada pembaca. Nah, kira-kira mengapa jawaban si anak bisa 'se-ala kadar' itu? Jawaban saya: sinergitas. Jika sekolah diumpamakan sebagai poros tengah dalam upaya bersama mendidik dan mencerdaskan generasi masa depan bangsa, guru atau sekolah tak lagi terhubung dengan wali murid atau dengan masyarakat sekitarnya. Jika dulu keterhubungan antara guru dengan wali murid atau masyarakat terlihat dengan antusiasnya masyarakat menanyakan, meminta, dan lainnya, kepada seorang anak berseragam sekolah yang berada di tempat-tempat umum seperti warung kopi, pasar, dan lainnya, sebaliknya hal tersebut sangat langka kita temui dewasa ini. Ada yang bilang, kalau dulu seor

Khotbah

Saya punya kenalan seorang guru yang juga dikenal sebagai teungku. Baru-baru ini beliau juga diangkat sebagai imam meunasah. Sudah berulang kali sebenarnya penghargaan orang-orang kampung itu ditolaknya, sampai kemudian para ibu beramai-ramai mendatangi rumah kolega saya tersebut dan akhirnya jadilah beliau imam meunasah 'yang resmi' sejak itu. Dikenal sebagai teungku di kampung saya, minimal pernah mondok beberapa tahun di dayah, bisa pimpin samadiah ke kampung tetangga, ataupun mampu menjadi orang berkhotbah 'di dalam' mimbar pada hari Jumat. Nah, jika bukan demikian dan bersikap teungku palsu, silahkan saja, tapi 'bisik-bisik tetangga' akan berkumandang sampai ke telinga si empunya nama. Kenalan saya itu tidak pernah mondok di pesantren setahu saya, tapi beliau rajin mengunjungi sejumlah pengajian kecil di kampung-kampung lain yang dapat dijangkau dengan bersepeda. Di samping itu ayah beliau dikenal sebagai teungku yang pada malam harinya didatangi sejum

Tentang Dua Cerpen Heri Apriadi

Oleh Edi Miswar Mustafa ADA bagian yang hilang dalam cerpen Yang Kembali karya Heri Apriadi, Serambi Indonesia (16/02/14). Namun,   saya menemukan cerpen  Aku Pulang  yang ide ceritanya ternyata sama persis dengan cerpen Yang Kembali. Aku Pulang ditulis Heri Apriadi di harian ini pada 25 Maret 2011. Ada apa dengan kisah ini? Kenapa penulisnya sampai harus menulis ulang kisah yang sama dengan sudut  pengisahan berbeda? Meskipun ide cerpennya sama, namun kedua cerpen tersebut bukan cerpen yang sama. Perbedaan mendasar kedua cerpen di antaranya pada sudut pandang. Cerpen Aku Pulang menggunakan sudut pandang orang pertama, Firman. Sebaliknya pada cerpen Yang Kembali sudut pandang orang pertamanya adalah Razali. Cerpen Aku Pulang bercerita tentang aku yang pulang dari pelarian selama 21 tahun di Malaysia. Di sana aku dihempas kemelaratan, sampai kemudian menemukan seorang bapak yang tidak hanya memberinya pekerjaan, tapi juga anak semata wayang untuk dipinangnya sebagai istri.

Atheis dan Wahabi

Oleh: Edi Miswar Mustafa Jujur, saya lebih suka jadi wahabi tinimbang atheis. Walaupun dipersoalkan oleh orang-orang yang mengaku diri aswaja alias ahlussunnah wal jama'ah perihal ketauhidan, wahabi jelas bertuhan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bernabi pada Baginda Rasulillah Saw. Sedangkan, atheis tidak mengakui adanya pencipta alam raya ini beserta isinya, apalagi mengakui para nabi, malaikat, dan hari akhir. Tentu ini pilihan saya jika opsinya dua. Bagi sebagian perempuan bisa saja berolok, misalnya, lebih memilih menjadi janda daripada dimadu. Tapi benarkah demikian? Bukankah dengan memilih tidak mau dimadu maka terbukalah sisi lain dari kehidupan yang bakalan mengundang marabahaya? Berkaitan dengan anak, pengasuhan dua orang tua tentu saja lebih baik daripada sing le parent. Belum lagi godaan biologis tanpa seorang suami; seberapa kuatkah seorang wanita tidak tergoda melakukan perzinaan? Apalagi jika sang janda memiliki kulit mulus, postur proposional, dan berekonomi lema

Ode untuk Fozan Santa

Oleh Edi Miswar Mustafa SAYA menyenangi sastra. Nah, tiba-tiba merasa terpelanting, membaca Epigram untuk Fozan Santa yang ditulis Saudara Herman RN (Serambi, 24/8/08). Benarkah Fozan “Che Guevara Ulee Kareng” Santa telah tertimpa penyakit stagnanisma yang ditakutkan para sastrawan dunia? Seperti halnya Ernest Hemingway, sastrawan Amerika dan peraih nobel sastra 1962 yang melakukan bunuh diri dengan menembakkan pistol ke arah kepala sendiri. Jika ini benar, sungguh sangat disayangkan. Apa kata mereka yang mengenal sekolah menulis Dokarim. Konon, lagi Sekolah Menulis Dokarim begitu menjulang nama karena kurikulum inkonvesionalnya dan pemateri-pemateri yang tidak tanggung-tanggung. Tercatat Hasif Amini, Nirwan Dewanto, Riri Riza, Nirwan Ahmad Arsuka, Amarzan Lubis, Siti Zainon Ismail, Fx Rudy Gunawan, Elsa Clave, Martin Aleida, Garin Nugroho, dan lain-lain pernah dihadirkan sebagai pemateri di Dokarim. Ini sepertinya terkesan janggal jika ada anggapan bahwa Fozan “penyair ca

Kesalahan Mulut Kita

Oleh; Edi Miswar Mustafa Membaca tulisan Pak Azwardi, saya langsung teringat seorang teman yang memberitahukan kepada saya bahwa Pak Azwardi curhat di milis. Sejenak saya tercenung, “Kira-kira apa, ya, yang ditulis beliau?” demikian batin saya bertanya. Jam telah menunjuk angka mendekati dua belas. Mereka, yang beberapa puluh menit lalu mungkin terpana dengan pleidoi Affan Ramli mengenai bukunya “Merajam Dalil Syariat” telah pulang dari Kantor Komunitas Tikar Pandan di Ulee Kareng; tempat peluncuran buku tersebut (Sabtu, 13/11/10). Apa kaitannya dengan soliloqui -kalau boleh saya mengganti istilah curahan perasaan dengan istilah yang menurut saya lebih bijak- Pak Azwardi ini dengan pleidoi Affan Ramli sehingga, saya rasa-rasai, sepertinya ada benang merah antara keduanya. Saya membayangkan malam peluncuran buku “Merajam Dalil Syariat” yang diisi oleh penampilan Fuadi Mop-Mop yang membuat semua mata dan mulut terbuka, juga banyak didatangi teungku kampus dan teungku dayah. M

Kesalahan Kecil yang Sering Disepelekan

Oleh Edi Miswar Mustafa Seperti awal Tahun Ajaran sebelumnya, jelang Tahun Ajaran baru ini pun setiap guru di sekolah masing-masing pastinya memperoleh Kalender Pendidikan dari kepala sekolah ataupun Wakepsek akademik. Kalender Pendidikan tersebut oleh para guru digunakan sebagai pedoman untuk merancang perangkat pembelajaran selama dua semester dalam setahun. Selembar kertas yang dibagikan kepada setiap guru tersebut berjudul “KALENDER PENDIDIKAN UNTUK TK, TKLB, SD, SDLB, SMP, SMPLB, SMA, SMALB, SMK DALAM PROVINSI ACEH TAHUN PELAJARAN 2013/2014” Sepintas lalu, memang tidak ada yang salah dengan Kalender Pendidikan tersebut selain nama bulan November yang ditulis Nopember. Nama - nama bulan ditulis berurutan dari Juli 2013, Agustus 2013 sampai dengan Juli tahun 2014. Tanggal- tanggal tertentu diberi warna berbeda dan di bawahnya diberi keterangan. Misalnya, kolom bertanggal 8 – 11 Agustus 2013 diberi warna hijau tua dan di bawahnya tertulis keterangan; Libur bersama Hari

Pemerintah Kita Seperti Tahi Buah (bagian kedua)

Oleh; Edi Miswar Mustafa Sekali lagi saya tegaskan di sini, saya bukan punkers. Saya warga negara dari jenis yang peduli kepada sesama manusia tanpa melihat apakah dia minoritas ataukah mayoritas. Saya juga bukan orang yang senantiasa membenarkan mengenai pelbagai hal yang dilahirkan barat. Tetapi saya adalah warga negara yang memimpikan intelektual-intelektual di tanah ini seperti seorang kolomnis Yahudi terkenal di Amerika, yang memprotes kebijakan negaranya menyerbu Iraq karena ia menemukan indikasi kepentingan kapitalis menguasai sumber-sumber ekonomi di negeri 1001 malam tersebut, tanpa peduli bahwa yang dia bela adalah negara yang selama ini sangat membenci saudara-saudara senenek-moyangnya. Saya juga menginginkan orang-orang di negeri ini berpikir bijak seperti orang-orang di  Jerman; yang PSSI-nya mencarikan solusi mulia antara pemain bola beragama Islam dan klubnya. Apa pasal? Rupanya pemain muslim ingin tetap berpuasa di saat bertanding, sementara klub mereka

Pemerintah Kita Seperti Tahi Buah

Oleh; Edi Miswar Mustafa Saya bukan seorang punker dan saya tidak punya masalah apa-apa dengan pemerintah manakala menyampaikan sesuatu untuk yang punya kursi di sana. Saya warga negara yang bersikap ashabiyah sebagaimana diistilahkan Ibnu Khaldun pada abad ke-14, yang peduli, dan berusaha sebaik mungkin mengatasi masalah-masalah yang kita hadapi bersama. Setidak-tidaknya dengan menghargai waktu kita sejenak dan membicarakannya dengan teman-teman dekat di warung kopi langganan. Bentuk kepedulian seorang warga negara bisa macam-macam tentunya. Orang yang tidak membuang sampah sembarangan ke dalam selokan sehingga selokan-selokan di sekujur badan Kota Banda Aceh yang telah menghabiskan sekian trilyunan rupiah agar tidak cepat tersumbat yang kemudian menjadikan kota uzur ini kembali menjadi langganan banjir apabila musim hujan tiba, itu pun bentuk warga yang peduli. Sebagai orangtua, mendisiplinkan anak untuk menyeimbangkan waktu belajar dan bermain ―karena pemerintah/sekolah