Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerpen

Manohara

Oleh: Edi Miswar Mustafa Di sebuah angkutan antarkota dalam provinsi, aku ribut dengan seorang pak tua. Dia cerita sama teman sebangkunya bahwa Pantai Manohara dan Pantai Kuthang di Pidie Jaya ada kaitannya. Manohara, yang artis KDRT* itu, pernah mandi di salah satu pantai Meureudu, tapi kutangnya hanyut sampai Trienggadeng. Bapak yang saya muliakan, potong saya, sebenarnya asal muasal nama pantai itu bukan seperti yang bapak sampaikan. Dia malah tersenyum senang demi mendengar bantahanku dari arah belakangnya. Coba versi adik, ujarnya. Kami ingin mendengarnya. Ya, kan? Tambahnya seraya mencari dukungan beberapa penumpang lain. Yang lain terlihat senyum-senyum. Mungkin agak segan jika mendukung secara langsung. Baik. Akan saya ceritakan kepada bapak dan ibu sekalian, biar tidak ada lagi versi aneh seperti yang pak tua sampaikan tadi. Manohara sesungguhnya berasal dari nama seorang gadis yang beranjak remaja. Ia biasa dipanggil Hara. Dikisahkan dari mulut ke mulut di kampung kam

Telepon Genggam

                                                  Oleh: Edi Miswar Mustafa “…khasanah lama, lagipula teks itu mestinya kita yang seharusnya menghargai dan mewarisinya. Kita sendiri, Pak. Bukankah yang mulanya mempelopori penulisan ejaan melayu orang-orang dari tanah ini, orang-orang Samudera Pas è yang mengarang Hikayat Raja-Raja Pas è ,” kata Bobby, berapi-api. “Memang, itu tidak salah,” jawab Abdul, “Tapi kalimat jika kita ditanyai orang berapa perkara rukun Islam, jawab bahwa rukun Islam lima perkara, tidak sesuai dengan pola kalimat dalam bahasa Indonesia. Itu saja, terima kasih Bobby, ya. Bapak berharap bobby terus menulis, menulis, dan menulis. Karena kebudayaan menusia yang paling tinggi adalah menulis. O iya, tulisan Bobby di Serambi Indonesia sabtu kemarin sudah Bapak baca. Bagus, bagus sekali.” Mahasiswa yang berkulit putih yang duduk di belakang itu nampak tersipu. Abdul sengaja memujinya. Ia memperhatikan perawakannya seksama. Di hati ia mengumpat; sintaksis

Surat yang Tak Jadi Dikirim

Oleh: Edi Miswar Mustafa Ia linglung. Mungkin akan melepaskan penyesalannya seperti yang telah dibayangkan semula. Ia kembali melihat surat itu. Lantas mulai lagi menulis ulang karena ada beberapa kata-kata yang salah. Atau, menulis ulang kembali karena beberapa kalimatnya yang harus diubah. Atau, kata-kata metaforis; apakah perlu dilebihkan, apakah perlu dikecilkan - hiperbola, litotes. Ah, sama saja. Seandainya ia punya komputer sendiri. Menulis sepucuk surat tentu tak akan butuh waktu selama ini. Kepada Samirka Kutulis surat ini kala hujan gerimis [1] . Angin menggeraikan keindahan-keindahan yang bersukacita saat mata kita menjadi jembatan. Kesulitan yang pernah teralami sekarang sejenak musnah. Pelita berpijar seolah-olah awan yang berseliweran di langit-langit tanpa batas. Samirka, aku cinta padamu. Penat seharian ini telah ditumpahkan ke dalam ember. Di sana penat itu tersenyum-senyum bersama bau tengik keringat. Ia menyapa air yang dikeluarkan secara gatal oleh sany

Surat Cinta

Oleh: Edi Miswar Mustafa Tanpa sengaja aku menemukan surat-surat simpanan ibu. Sungguh, benar-benar tak menyangka bahwa ibuku demikian harum di masa mudanya. Telah kuhitung semuanya; semua berjumlah 569 pucuk surat. Dan, kiranya, bukan dari ayahku. Hm … apakah ibu selingkuh? Tapi hanya dari laki-laki itu seorang. Suatu ketika kuberanikan juga diriku bertanya. Sejenak ibu terlongong seperti orang yang kepergian ruh dari tubuh. Lantas berceritalah beliau bahwa ayah di masa hidupnya mengenal laki-laki yang menulis surat untuk ibu, tapi ibu tak pernah memberitahukannya kalau surat-surat itu dikirimkan laki-laki itu. Sampai kemudian ayah meninggal dunia dan laki-laki itu melamar ibu. “Ibu bilang, kamu belum pernah berkeluarga, alangkah sayangnya seorang laki-laki bujangan menikahi janda beranak tiga,” kata ibu. Langit hari itu sungguh biru. Lalu ibu mengatakan, “Mungkin surat-surat itu ibu bakar saja.” “Biar Neisha bakar, Bu. Tapi, Neisha mau baca dulu, ya,” tukasku. Dan ak

Setelah Putra Mahkota Dipancung

Oleh: Edi Miswar Mustafa Kuurungkan ingat pada ’nganga masa muda. Pertaruhan sinting padamu. Sekujur tubuh pun luruh menyentuhkan sekian dalih. Terimalah aku bumi. Terimalah. Batin pemuda itu terkapar. Lunglai. O, aku raja. Tapi si celaka ini telah menurunkan martabatku. Demi keadilan dan kewibawaan, sebuah kesan yang baik akan meninggalkan kenyataan ini ke mana pun dan sampai kapan pun. Benak lelaki tua itu terjerembab sampai sembab. Aku pewaris takhta. Ha ha ha bunuhlah ia segera. Cepatlah. Tebas. Ah, apa yang kau pikirkan ayah, anakmu itu bisa jadi bukan anakmu. Bisa jadi ia hanya seorang turunan perompak Perlak. Kau terpikat pada ibunya karena kilaunya tak ada bedanya dengan cerita-cerita gurumu di Asahan tentang wanita jelita dari suku Quraisy. Tidak ada yang mendengarkan bisik hati itu. Kecuali si pemilik tubuh, malaikat, dan iblis. Tuanku, apakah kau tidak mempercayaiku. Yang di hadapanmu itulah dalang kerusuhan selama ini. Orang yang membocorkan rahasia keraja