Pemerintah Kita Seperti Tahi Buah (bagian kedua)
Oleh; Edi Miswar Mustafa
Sekali lagi saya tegaskan di sini, saya
bukan punkers. Saya warga negara dari jenis yang peduli kepada sesama manusia
tanpa melihat apakah dia minoritas ataukah mayoritas. Saya juga bukan orang
yang senantiasa membenarkan mengenai pelbagai hal yang dilahirkan barat.
Tetapi saya adalah warga negara yang memimpikan
intelektual-intelektual di tanah ini seperti seorang kolomnis Yahudi terkenal
di Amerika, yang memprotes kebijakan negaranya menyerbu Iraq karena ia
menemukan indikasi kepentingan kapitalis menguasai sumber-sumber ekonomi di
negeri 1001 malam tersebut, tanpa peduli bahwa yang dia bela adalah negara yang
selama ini sangat membenci saudara-saudara senenek-moyangnya.
Saya juga menginginkan orang-orang di negeri ini
berpikir bijak seperti orang-orang di Jerman; yang PSSI-nya mencarikan
solusi mulia antara pemain bola beragama Islam dan klubnya. Apa pasal? Rupanya
pemain muslim ingin tetap berpuasa di saat bertanding, sementara klub mereka
ingin mereka tidak berpuasa pada hari pertandingan. Persoalan kemudian
ditangani PSSI-nya Jerman dan kemudian mereka mengundang pakar fiqh dari
Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk mengkaji persoalan tersebut dari agama si pemain
bola.
Hari itu, jujur, saya terharu membaca bagaimana
persoalan tersebut terpecahkan. Siapalah si Islam di sana, banyak kita berpikir
seperti itu. Tetapi, dari peristiwa tersebut, kita pun mengetahui bagaimana
mayoritas di sana mau berbaik hati memberi hak kepada si minoritas. Jika kita
menganggap perlakuan tersebut karena pemain bola muslim adalah aset klub dan
itu penting bagi klub dan negara Jerman, sementara punkers bukan aset? Oke,
atas dasar apa? Apakah punkers tidak dapat memberikan kontribusi bagi peradaban
tanah ini? Apakah karena mereka dianggap tidak ideal sebagai punkers; cuma
punker-punkeran.
Bila ini sebagai logikanya maka muncul pertanyaan
berikutnya apakah profesi-profesi seperti guru, polisi, dosen, pejabat,
politisi, sudah ideal sebagaimana peruntukkan fungsi dan keberadaannya dalam
masyarakat? Berapa persen polisi yang ideal di negeri ini? berapa persen guru
yang ideal di negeri ini? Jika ingin mendapat jawaban yang valid tanyakanlah
pada lembaga-lembaga yang berfungsi menjaga keidealan mereka. Berapa persen
anggota dewan yang melanggar fungsinya karena mereka juga ikut tender-tender
pembangunan ini pembangunan itu, padahal mereka seharusnya mengontrol
pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pihak eksekutif.
Tapi karena masyarakat kita telah lama tidak
diberikan ruang oleh pemerintah Soeharto (Soeharto dan Soekarno selalu jadi icon
kebencian orang Aceh dan kemudian kita menempelkan stigma kejawaannya; bukan
dia sebagai seorang penguasa yang tiran) dan sudah lama tidak mendapatkan hak-hak
politiknya, perampok-perampok uang rakyat ini seakan-akan berdiri di atas
kebenaran yang tidak pernah dapat diburuk-burukkan para kaum agamawan kita.
Jika dikaitkan dengan contoh kasus yang hampir didiamkan misalnya yaitu
Century, Gayus, serta kasus-kasus besar lainnya dan di saat yang hampir
bersamaan ada kasus Nek Minah yang diputuskan kurung selama 6 bulan walau cuma
mengambil tiga kakau; inilah kenyataan bahwa minoritas akan lain diperlakukan
negara dibandingkan mayoritas, bagi kita, ini selalu lewat seperti
lalu-lalangnya kendaraan di jalanan.
Mungkin akan lain bila dalam sejarah
ke-Indonesia-an Hasan Tiro disetujui pendapatnya oleh Soekarno; ya, atas nama
‘keadilan politik’. Hasan Tiro dalam buku Demokrasi untuk Indonesia,
yang ditulis di New York tahun 1958, menganjurkan kepada pemerintah
Indonesia bagaimana memilih wakil rakyat yang kemudian duduk di lembaga
legislatif sebagaimana di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa memilih
wakil rakyat-wakil rakyatnya (Aceh adalah salah satu bangsa minoritas dari
sekian bangsa minoritas lainnya di kepulauan nusantara yang mau kumpul kebo
bersama Indonesia). Andaikan diterapkan sistem pemilihan per daerah/provinsi
maka wakil-wakil rakyat di tiap daerah akan berjumlah sama. Tetapi, karena
sistem per kepala yang dipraktikkan Indonesia oleh karenanya wakil terbanyak di
Senayan dan memenuhi sejumlah komisi-komisi di DPR adalah bangsa terbanyak
yaitu bangsa Jawa. Padahal, menurut Hasan Tiro, keadilan ekonomi dan budaya
akan dapat sama rata di antara bangsa-bangsa di kepulauan nusantara ini jika
keadilan politik sudah dicapai.
Karena ketidakadilan secara politik ini maka
tidak hanya di Senayan yang dipenuhi oleh Bangsa Jawa dan Bangsa Sunda, pun
kuota perwira dalam TNI dan Polri. Sehingga hampir di seluruh Indonesia yang
menjabat Pangdam, Korem, Kodim, Kapolres, Kapolda, sebagian besar dari dua
bangsa tersebut. Bangsa Aceh, Bangsa Dayak, Bangsa Bali, dan bangsa-bangsa
lainnya di Indonesia yang populasinya tak sebanyak Jawa dan Sunda, mungkin,
hanya dapat bermimpi di siang bolong bila presiden Indonesia setelah SBY, atau
presiden ke-7 atau presiden ke-8 dan berikutnya dan berikutnya lagi pastilah
berasal bukan dari Bangsa Jawa.
Pengabaran ihwal ini bukan berarti saya
xenophobia Jawa. Banyak hal dari Jawa yang patut ditiru oleh orang-orang Aceh.
Peniruan ini sama juga dengan peniruan orang-orang dari timur yang mencoba
meniru barat dalam semua sektor. Tapi, karena memori kolektif di bawah sadar
orang-orang Indonesia (termasuk Aceh) cenderung selalu negative thinking
terhadap sesuatu yang berbeda dengannya (contohnya stigmatisasi Aceh Selatan
sebagai daerah penghasil para dukun, stigmatisasi Pidie sebagai pelit,
stigmatisasi cewek-cewek dari Kota Langsa sebagai cewek langsung saja,
stigmatisasi Jawa sebagai bangsa tikus yang menghabiskan lumbung padi
Indonesia).
Sampai di sini, saya teringat kata-kata Pramoedya
Ananta Toer yang dijadikan endosmen di novel Bumi Manusia dan sekaligus
disuarakan Pram melalui tokoh seorang mantan marsose berkebangsaan Prancis
(Jean Marais) yang pincang dalam peperangan di Aceh. ”Berpikir adillah semenjak
dalam pikiran.”Jadi, wahai saudara-saudaraku se-iman dan seagama, apa bedanya
punkers dengan politisi? Apa bedanya punkers dengan kaum muda yang ganteng dan
manis di bibir pantai Ulee Lheuh pada malam minggu yang disinari bulan? Apakah
punkers sama dengan Hasan Tiro, pahlawan Aceh modern, salah seorang individu
yang dilahirkan dari bangsa minoritas di dalam Indonesia? Saudara kafir saya,
si Nietzsche itu, mungkin benar; ”Cara yang paling jitu untuk merusak anak muda
adalah dengan menyuruhnya untuk menjunjung lebih tinggi mereka yang berpikiran
sama daripada mereka yang berpikiran beda.”[Habis]
NB. Dimuat di AcehCorner, 27 Desember 2011
Komentar