Khotbah

Saya punya kenalan seorang guru yang juga dikenal sebagai teungku. Baru-baru ini beliau juga diangkat sebagai imam meunasah. Sudah berulang kali sebenarnya penghargaan orang-orang kampung itu ditolaknya, sampai kemudian para ibu beramai-ramai mendatangi rumah kolega saya tersebut dan akhirnya jadilah beliau imam meunasah 'yang resmi' sejak itu.
Dikenal sebagai teungku di kampung saya, minimal pernah mondok beberapa tahun di dayah, bisa pimpin samadiah ke kampung tetangga, ataupun mampu menjadi orang berkhotbah 'di dalam' mimbar pada hari Jumat. Nah, jika bukan demikian dan bersikap teungku palsu, silahkan saja, tapi 'bisik-bisik tetangga' akan berkumandang sampai ke telinga si empunya nama.
Kenalan saya itu tidak pernah mondok di pesantren setahu saya, tapi beliau rajin mengunjungi sejumlah pengajian kecil di kampung-kampung lain yang dapat dijangkau dengan bersepeda. Di samping itu ayah beliau dikenal sebagai teungku yang pada malam harinya didatangi sejumlah anak tetangga untuk mengenal tajwid, huruf jawoe, dan kitab masailai. Lalu setamat sekolah menengah di kampung kemudian hijrah ke Banda Aceh sebagai mahasiswa bahasa Arab.
Di antara pengkhotbah jumat di kampung saya, beliau termasuk dalam kategori 'pilihan' untuk saya pribadi. Tutur bahasa beliau sopan. Tidak ada pengklaiman atas suatu isu yang sedang 'suam-suam tahi ayam'. Kesimpulan saya; jika seorang khatib tidak membuat jamaah jumat resah oleh tantangan demi tantangan yang harus dihadapi umat di hari depan, saya menganggap sudah oke.
Lain lagi perkara jika saya sampaikan bahwa ada juga apa yang dikatakan khatib 'di dalam' mimbar benar-benar mengenai di hati dan itu saya kira apa yang disampaikan oleh sang khatib juga ia amalkan. Sebab ada banyak juga saya dengan khotbah jumat, tapi seakan-akan pesan agama yang dibalut dengan lisan yang santun terjaga cuma 'lipstik' alias cuma di bibir doang.
Orang yang saya perbincangkan termasuk para khotbahis yang mengena di hati. Apalagi setelah saya mengenal lebih dekat. Apa kata mulutnya begitulah yang dikerjakan segenap anggota badannya. Hampir saban jumat beliau mendapat undangan menjadi khatib, termasuk pada hari raya idul fitri dan idul adha.
Suatu hari beliau ditanya seseorang. Pertanyaan ini benar-benar rumit. Setelah menimbang-nimbang beliau menjawab. Saya yang diceritakan kisah itu pun tahu jawaban beliau hanya bersifat normatif. Namun, saya tak berani mempertanyakan lebih lanjut; adakah jawaban lainnya.
Di sebuah mesjid di kampung saya, ada mesjid yang melaksanakan shalat jumat tanpa mengulang lagi rukun khotbahnya. Khatib di sana umumnya khatib dari luar kabupaten. Bisa dikata tak ada dari alumni dayah yang berdiri 'di dalam' mimbar mesjid tersebut. Ataupun kalau ada yang dirasa sudah agak berpikiran moderat. Tentu ukuran moderat saya pun kurang tahu batasannya.
Kenalan saya itu punya jadwal sebagai khatib beberapa kali dalam setahun di mesjid tersebut sehinggu ditanyakan temannya yang alumni dayah mengapa pengurus mesjid itu mengundangnya sebagai khatib? Jawab beliau mungkin karena ia tidak pernah mengatakan sesuatu yang masih diperdebatkan oleh orang-orang dayah dan mereka yang menguasai mesjid tersebut.
Jawaban ini bikin saya merenung sampai di rumah. Memang itulah solusinya. Inti pokoknya hindari perdebatan yang membawa pada rasa saling benci. Konon lagi bila yang didebatkan hanyalah perbedaan pelaksanaan ibadah versi 4 mazhab. Pun mengenai boleh-tidaknya penggunaan tongkat ataupun menumbuhgondrongkan janggut di sekujur rahang.
Rungkom, 2 Agustus 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg