Tentang Dua Cerpen Heri Apriadi

Oleh Edi Miswar Mustafa
ADA bagian yang hilang dalam cerpen Yang Kembali karya Heri Apriadi, Serambi Indonesia (16/02/14). Namun,   saya menemukan cerpen  Aku Pulang  yang ide ceritanya ternyata sama persis dengan cerpen Yang Kembali. Aku Pulang ditulis Heri Apriadi di harian ini pada 25 Maret 2011. Ada apa dengan kisah ini? Kenapa penulisnya sampai harus menulis ulang kisah yang sama dengan sudut  pengisahan berbeda?
Meskipun ide cerpennya sama, namun kedua cerpen tersebut bukan cerpen yang sama. Perbedaan mendasar kedua cerpen di antaranya pada sudut pandang.

Cerpen Aku Pulang menggunakan sudut pandang orang pertama, Firman. Sebaliknya pada cerpen Yang Kembali sudut pandang orang pertamanya adalah Razali.
Cerpen Aku Pulang bercerita tentang aku yang pulang dari pelarian selama 21 tahun di Malaysia. Di sana aku dihempas kemelaratan, sampai kemudian menemukan seorang bapak yang tidak hanya memberinya pekerjaan, tapi juga anak semata wayang untuk dipinangnya sebagai istri. Aku menceritakan perjalanannya hingga dia kembali di kampung halamannya di Aceh dan bersua kembali dengan ibunya yang sudah renta. Kemudian disinggung juga tentang sebuah pengkhianatan yang menjadi penyebab aku meninggalkan Aceh. Tapi dalam cerpen ini, tidak disebutkan mengapa aku dikhianati dan siapa si pengkhianat.
Adapun dalam cerpen Yang Kembali pengisahan disampaikan melalui sudut pandang aku Razali. Razali teman baik Firman. Suatu pagi di warung kopi Apa Him, Razali mendengar pembicaraan beberapa pelanggan bahwa Firman sudah pulang dari Malaysia setelah musibah besar yang merenggut nyawa Abu Safwan, ayah Firman, sekian tahun yang lalu.
Dalam perjalanan ke rumah Firman, Razali melakukan kilas balik dan berkisah tentang pertemanannya dengan Firman, dan ternyata mereka mencintai seorang gadis yang sama. Meskipun si gadis sempat dipacari Firman, namun akhirnya yang berhasil mengawini Mila, nama gadis itu, adalah Razali. Di penghujung kisah, Razali mengakui bahwa dialah penyebab malapetaka yang menimpa Firman - si pengkhianat yang belum jelas pada cerpen Aku Pulang. Cinta buta Razali kepada Mila merupakan dalih yang telah membawanya ke pos tentara Indonesia dan melaporkan Firman sebagai anggota GPK.

Persamaan kedua cerpen di atas adalah bahwa kedua narator, baik Firman maupun Razali, menggerakkan cerita secara lugu. Akibat keluguan ini bisa diduga, tampaknya tidak ada persoalan yang cukup penting dan perlu dipersoalkan ketika keduanya bertemu kembali. Firman begitu mudah memaafkan pengkhianatan Razali.  
Terlepas dari kelemahan itu, membaca dua karya Heri Apriadi ini, saya teringat beberapa kumpulan cerpen Indonesia, seperti Mati Baik-Baik,  Kawan karya Martin Aleida yang selalu setia mengusung kisah G 30 S. Kumpulan cerpen Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma dengan latar Timor Leste pascapenembakan rakyat oleh serdadu Indonesia tahun 1991 di Santa Cruz. Dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Bicara, Seno lebih jauh membeberkan proses kreatifnya menulis fakta tentang pembantaian di Timor Leste oleh kediktatoran Orde Baru karena didorong oleh sensor atas kebebasan pers.
Banyak penulis lain bertindak seperti Heri Apriadi:  Melaporkan kenyataan melalui  karya sastra. Banyak peristiwa  pascakonflik di Aceh yang seharusnya dapat dijadikan bahan baku oleh para sastrawan Aceh. Tragedi-tragedi kemanusiaan dalam masyarakat tersebut di kemudian dapat menjadi suatu ingatan yang terus hidup, bahkan arsip untuk keperluan tafsir atas sejarah. Di sinilah saya kira posisi kaum sastrawan harusnya berdiri.
* Edi Miswar Mustafa,  guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Unggul Pidie Jaya. Bergiat di Komunitas Kanot Bu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg