Memoar
Kesalahan Mulut Kita
Oleh; Edi Miswar Mustafa
Membaca tulisan Pak Azwardi, saya langsung teringat seorang teman yang
memberitahukan kepada saya bahwa Pak Azwardi curhat di milis. Sejenak
saya tercenung, “Kira-kira apa, ya, yang ditulis beliau?” demikian batin
saya bertanya. Jam telah menunjuk angka mendekati dua belas. Mereka,
yang beberapa puluh menit lalu mungkin terpana dengan pleidoi Affan
Ramli mengenai bukunya “Merajam Dalil Syariat” telah pulang dari Kantor
Komunitas Tikar Pandan di Ulee Kareng; tempat peluncuran buku tersebut
(Sabtu, 13/11/10). Apa kaitannya dengan soliloqui -kalau boleh saya
mengganti istilah curahan perasaan dengan istilah yang menurut saya
lebih bijak- Pak Azwardi ini dengan pleidoi Affan Ramli sehingga, saya
rasa-rasai, sepertinya ada benang merah antara keduanya.
Saya membayangkan malam peluncuran buku “Merajam Dalil Syariat” yang
diisi oleh penampilan Fuadi Mop-Mop yang membuat semua mata dan mulut
terbuka, juga banyak didatangi teungku kampus dan teungku dayah.
Mungkin, jika ada ketidakcocokkan pendapat antara teungku modern dan
teungku tradisional -semenjak kampus darussalam didirikan terdengar
santer- saya kira, keduanya akan sepakat; bahwa benarlah apa yang
dikatakan Affan Ramli; Pemerintah Aceh tidak memberikan penghargaan
kepada ilmu pengetahuan (dalam hal ini pemberian kewenangan yang besar
kepada ulama; Affan Ramli mencontohkan kewenangan yang kecil lembaga
MPU; ini disebutnya sebagai pelengkap penderita).
Saya yang awam ini barangkali akan menganggap pleidoi Affan Ramli di
akhir acara peluncuran buku tersebut semacam sintesis dari tesis (buku
Merajam Dalil Syariat) dan antitesis (tanggapan-tanggapan dua orang
pembedah buku). Dua orang pembedah, para pesertawan diskusi buku,
mungkin sepakat bahwa kedua orang tersebut memang berbeda, tetapi secara
keilmuan, saya yakin sangat luar biasa. Yang satu tidak berjenggot,
gayanya agak seperti pembawa acara Just Alfin di Metro TV, tetapi
bersuara selantang Soekarno ketika berpidato di Lapangan Banteng dan
satu lagi, -Anda bayangkan saja Osama bin Laden- berceramah ala
penceramah mentor-mentor LDK di kampus tercinta kita, yang berbicara
kocak, dan agak konyol (karena sikapnya yang sok tahu).
Kerap kita temui dua kutub seperti ini di mana saja. Di dalam karya
sastra (novel; misalnya), kehadiran tokoh antagonis melahirkan konflik.
Dan, karya sastra yang baik, salah satu cirinya adalah ketika pembaca
dapat dijebak dalam lika-liku penceritaan. Di kampus kita, buku yang
terbaca oleh kita tidak terpampang seperti kita membaca novel Laskar
Pelangi. Seandainya terpampang dan mahasiswa pun dosen membaca sama-sama
dalam waktu yang beriringan, saya ingin sekali tahu, apa kira-kira
pendapat dosen-dosen kita ketika mengetahui bahwa Azhari Montasik
diminta mengganti objek pengkajian dari novel Tungku dengan salah satu
novel karya N.H. Dini karena dosen penguji beralasan bahwa novel tungku
tak bisa dijadikan objek kajian karena diterbitkan oleh penerbit kecil
seperti Aneuk Mulieng Publising. Ironis tentunya bila ini diketahui Pak
Mukhlis A. Hamid, sebab, beliau adalah punggawa di lembaga-lembaga
kebudayaan di bawah Komunitas Tikar Pandan; sehingga beliau mungkin akan
geleng-geleng kepala kepada dosen penguji tersebut (entah Pak Mukhlis
akan membatin; betapa sempitnya dunia pembacaanmu kawan kepada dosen
penguji tersebut). Atau, mungkin tahu, tapi memang sengaja menganggap
Aneuk Mulieng Publising bukan apa-apanya. Lalu akan menganggap novel
“Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo ada apa-apanya sehingga boleh
diteliti.
Saya kira, ini bagian konflik antar tokoh (dosen dan dosen) yang sangat
menarik untuk dibaca -sekali lagi; seandainya kampus kita dan segala
permasalahannya dapat dibaca sebagaimana kita membaca buku “Bagaimana
Caranya Menanam Terong”. Di sisi yang lain, ada dosen (seperti Pak
Azwardi) yang menganggap moral selalu harus diprioritaskan dalam setiap
pembelajaran dengan dosen yang menganggap moralitas mahasiswa merupakan
urusan mahasiswa sendiri. Di antara kedua kutub ini, konflik yang
terjadi adalah konflik yang disulut oleh sikap merasa benar pihak
masing-masing. Kebenaran ini tidak pernah dicarikan ruang untuk
disintesiskan, dievaluasikan, dan dicarikan solusinya. Namun, kebenaran
kedua ini terluah di ruang-ruang yang audiensnya sama sekali tak peduli
atau sama sekali tak pernah terbayangkan bahwa ada permasalahan seperti
ini antara dosen-dosen kita.
Dalam satu perkuliahan dengan Dr. Harun, saya bertanya tentang hadih
maja yang ditujukan kepada pelarangan perempuan kongkow di warung kopi?
Sederhana saja jawaban beliau; karena dikhawatirkan bahwa perempuan akan
menyalahgunakan mulutnya yang penuh penyakit di warung kopi sehingga
kenyamanan hidup dalam masyarakat bisa terganggu. Tahukah teman, dosen
saya yang saya muliakan, dan sahabat-sahabat saya yang membaca milis
ini, yang saya maksudkan ‘penyakit mulut’? Tak lain dan tak bukan yaitu
“mengupat, menggunjing, memaki, mengejek, mencibir, dan lain-lain men-
yang berarti negatif”. Pertanyaan kepada Dr. Harun kala itu, sekaligus
tanggapan; menurut bapak sendiri, berapa persenkah laki-laki di warung
kopi-warung kopi itu tidak menyalahgunakan mulut-mulutnya? Saya sendiri,
walaupun tidak pernah melakukan survei secara terencana, dapat
menyimpulkan bahwa sekitar 90 % laki-laki di warung kopi-warung kopi
tersebut menyalahgunakan mulutnya.
Baiklah, saya utarakan standar penyalahgunaan mulut. Dalam satu riwayat,
Nabi kedatangan seorang tamu. Kala itu Nabi kita di rumah Siti Ainsyah
ra. Ketika tamu itu pamit, Nabi dan Siti Ainsyah mengantar sampai ke
pintu. Ketika tamu itu, yang berjalan ke tempatnya kembali, berjarak
sekitar 50 meter dari Nabi dan Siti Aisnyah, Siti Ainsyah berkata kepada
Nabi: “Ya, Rasulullah, perempuan itu cantik, ya, tapi agak pendek.”
Nabi segera mengucapkan Astagfirullah dan segera meminta istrinya yang
berpipi kemerah-merahan itu mengejar langkah tamu tersebut.
Dari asbabul huruf ini, bayangkan, dalam sehari, berapa kalikah kita
menyalahgunakan mulut kita; terutama jenis penyakit mulut yang bernama
‘upat’ atau ‘gunjing’? Berapa kalikah mahasiswa mengupat dosen, berapa
kalikah dosen mengupat mahasiswa, dan berapa kalikah dosen yang satu
mengupat dosen yang lain?
Salam,
E.M. Mustafa
E.M. Mustafa
Komentar