cerpen

Setelah Kematian Haji Rushdie

Oleh; Edi Miswar Mustafa

Hari telah diambang malam ketika jenazah Haji Rushdie diturunkan ke liang lahat. Namun, bisik-bisik orang sekampung yang mengantarkan jenazah Haji Rushdie masih berdengung bagaikan lebah. Ini tanah pekuburan keempat yang digali orang upahan ahli bait Haji Rushdie. Sebelumnya, berbagai keanehan telah terjadi. Dan, orang-orang pun mulai mengait-ngaitkannya dengan adegan di film Rahasia Ilahi. Karena demikianlah yang dialami penggali kubur. Pada penggalian pertama, baru sedepa tanah tergali, ular bermacam rupa keluar dari dalam kubur. Sementara pada penggalian kedua, baru sedepa setengah tergali, air membanjir dari tanah tersebut. Padahal mereka tahu bahwa di sana bukanlah tanah yang berpotensi bermata air. Sedangkan di tanah ketiga, mereka, para penggali upahan itu kewalahan menggali tanah. Entah mengapa, tanah yang tampaknya gembur itu, malah sealot karang.

Aku memang di sana. Di tiga tempat tersebut. Sudah lama aku terpikat pada anak Haji Rushdie, anaknya yang semata wayang itu. Sehingga bagiku, musibah gadis pujaanku itu adalah musibahku juga. Hatiku terasa diiris perlahan manakala kutemukan gadis itu terisak tiada henti di samping ibunya yang mengenakan selendang hitam berbordiran ungu yang rumit. Dan, di tengah-tengah pentalakinan teungku, masih kudengar bisik-bisik jahat orang sekampung. Geram aku. Ingin benar kutonjok mulut-mulut itu.

Sebenarnya Haji Rushdie seorang guru di kampung kami. Ia orang panutan. Selain sebagai seorang guru MIN, ia senang menghabiskan waktunya di rumah Allah. Jarang di kampung kami orang seperti Haji Rushdie yang suka menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Mungkin, sebagaimana semua orang tahu, sesungguhnya ia pun rela berkeringat-keringat pada pembagian zakat fitrah di saat Hari Raya Idul Fitri, menolong pembagian daging hewan qurban, pembagian beras miskin, dan sejumlah kerja sosial lainnya.

Sebentar mata kami beradu sepulangnya dari tempat persemanyaman. Gadis itu mengangguk ke arahku. Di rumah duka kucoba melakukan apa yang dapat kukerjakan. Walaupun batinku bertarung antara keikhlasan dan pamrih. Apakah pertolonganku karena aku mengharapkan gadis itu memberikan isi hatinya untukku? Dan, aku tidak peduli. Aku ingin menolongnya.

Oleh karenanya, malam pertama doa bersama untuk almarhum Haji Rushdie yang dipimpin Imum Kampung kami itu pun, mulailah mataku mengenal orang-orang yang paling senang dengan kematian Haji Rushdie. Orang pertama, namanya Brahim. Bekas pawang boat mertua Haji Rushdie. Tak ada orang yang tak kenal dengannya karena kesukaannya berganja di balai nelayan di pinggir kampung setiap malamnya. Kudengar dari mulutnya di warung kopi Bang Nurman, setelah semua orang pulang dari rumah duka, mengenai Haji Rushdie yang pernah punya hubungan gelap dengan Cupo Limah. Sampai-sampai istri Haji Rushdie dan Cupo Limah saling jambak-jambakkan di kedainya Cupo Limah. Kala itu, aku masih ingat, aku masih kelas III SMP.   

Dari orang kedua, Bang Kamarudin, tukang becak di kota kecamatan kami, mengenai Haji Rushdie yang memakan harta anak yatim, jatah pembagian beras miskin, menggelumbungkan harga material untuk pembangunan meunasah kampung kami. Sementara dari orang ketiga, ialah Ahmad. Dia teman baikku. Sengaja ia datang ke rumahku dan membicarakan anak Haji Rushdie yang sudah lama kutaksir. Memang, ia sendiri pun tak habis pikir, mengapa Haji Rushdie punya tabiat seperti itu. Ia hidup berkecukupan karena bermertua kaya. Penampilannya senantiasa rapi. Tutur bahasanya mengalun lembut dan teratur. Kiranya tak ada orang semenarik Haji Rushdie di kampung kami.

Tapi, Ahmad, teman baikku bilang, Keburukan Haji Rushdie yang paling tak disukainya adalah melarang tadarus di bulan ramadhan dengan alasan pentadarus kurang menguasai kaidah membaca Alquran. Padahal, ia sendiri tak bisa mengaji. Namun, kami berdua sepakat bahwa kesalahan Haji Rushdie merupakan tanggung jawabnya sendiri di hadapan Allah Swt. Sementara, mengenai aku yang terpikat dengan anak gadisnya, ia setuju. Sebab, katanya, dosa orang tua tidaklah dipikul oleh anak keturunannya.

Ketika kuutarakan niatku pada ibu untuk melamar anak Haji Rushdie, tak kusangka ibu menolak. Ibuku beralasan bahwa ia tak mau berbesan dengan orang sebejat Haji Rushdie.
Meureudu, 15 September 2010
  

Komentar

Zainal Abidin mengatakan…
mantap pak Edi, silahkan ditambahkan lagi biar lebih oke,
Zainal Abidin mengatakan…
mqntap pak edi, teruskan

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg