Ode untuk Fozan Santa

Oleh Edi Miswar Mustafa

SAYA menyenangi sastra. Nah, tiba-tiba merasa terpelanting, membaca Epigram untuk Fozan Santa yang ditulis Saudara Herman RN (Serambi, 24/8/08). Benarkah Fozan “Che Guevara Ulee Kareng” Santa telah tertimpa penyakit stagnanisma yang ditakutkan para sastrawan dunia? Seperti halnya Ernest Hemingway, sastrawan Amerika dan peraih nobel sastra 1962 yang melakukan bunuh diri dengan menembakkan pistol ke arah kepala sendiri.

Jika ini benar, sungguh sangat disayangkan. Apa kata mereka yang mengenal sekolah menulis Dokarim. Konon, lagi Sekolah Menulis Dokarim begitu menjulang nama karena kurikulum inkonvesionalnya dan pemateri-pemateri yang tidak tanggung-tanggung. Tercatat Hasif Amini, Nirwan Dewanto, Riri Riza, Nirwan Ahmad Arsuka, Amarzan Lubis, Siti Zainon Ismail, Fx Rudy Gunawan, Elsa Clave, Martin Aleida, Garin Nugroho, dan lain-lain pernah dihadirkan sebagai pemateri di Dokarim.

Ini sepertinya terkesan janggal jika ada anggapan bahwa Fozan “penyair cabul”. Bagaimana seseorang yang dikenal luas oleh maestro muda nusantara sampai berbuat demikian. Sebagai orang nomor satu di Un Doc, tentu ia mahfum betul di balik kata plagiat, penyadur, penjiplak, dan penerjemah yang dikhotbahkan Saudara Herman RN. Tentu sadar pula ia bahwa ketika memutuskan diri menjadi plagiat berarti ia telah memilih mati. Dan ini, menurut saya, tidak mungkin. Nama yang kotor sama dengan satu kisah nun jauh di pelosok kampung mengenai seorang teungku yang menggagahi anak-bini orang. Nama si penyair untuk seterusnya bergetah dan layak dihiaskan dalam buku leksikon, kamus sastra terbitan Aceh, sebagai salah satu contohnya.

Di mana keanehan ini bermula. Apakah Fozan telah ditulari penyakit kebanyakan penyanyi Aceh. Saya curiga kedekatannya dengan penyanyi Aceh, seorang pendatang baru, dan sesudah terlibat dalam proses pembuatan album sang kekasih, Fozan Santa kemudian luntur jadi sosok yang suka comot sana comot sini. Atau, mungkin, karena bisikan kekasih. Lagu-lagu Aceh karbitan keluaran Lhokseumawe, ternyata banyak laku. Sehingga dalam usia kepenyairannya yang terbilang muda, stagnanisma Fozan Santa akhirnya ketahuan juga.

Sedikit riwayat, Fozan Santa pernah jadi mahasiswa di Yogyakarta. Dan, pengalaman saya dua tahun setengah di Semarang, ketika saya putar lagu Aceh produksi Aceh Utara, terus-terang, langsung saja saya matikan karena saya mendengar cekikikan dan cemoohan mereka. Padahal, perlu diketahui, masyarakat kelas ekonomi rendah di pulau Jawa itu, bisa dikatakan penyuka lagu-lagu dangdut. Tapi, ketika seorang teman datang dari Yogya membawa lagu Nyawong, saya putar, teman-teman Jawa saya langsung terpana. Dari sini, saya pikir Fozan Santa juga memiliki pengalaman yang sama dengan saya. Kesukaannya pada lagu-lagu Ebiet G. Ade (saya tahu ini dari cerita orang yang dekat dengannya) patut dimenungkan bagaimana alunan jiwa Fozan Santa.

Namun, sebaliknya, bukankah cinta dapat menjungkirbalikkan logika. Alunan jiwa Fozan Santa pun bisa juga diragukan. Fozan Santa adalah kelahiran Gandapura, Aceh Utara. Waduh, sungguh tak adil. Baiknya saya bicarakan juga siapa Herman RN (moga saya tidak batal puasa). Setidaknya bisa jadi penulis muda ini mengada-ngada. Herman dilahirkan di Pasi Raja, Aceh selatan. Mulai 2002 tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Indonesia Unsyiah. Tahun 2005 ia menggondol juara ketika lomba penulisan kreatif yang diadakan CWI dan Menpora. 2006 menjuarai penulisan cerita rakyat tingkat nasional. Juara pertama lomba menulis cerita anak yang diadakan BRR 2007. Dan, tak sampai setahun berseliweran di tengah jalan sebagai wartawan, sekarang, didudukkan sebagai redaktur budaya Harian Aceh. Herman, di ujung tulisannya, meski menamakan diri sebagai sarjana bahasa dan sastra tetapi jelas mengagulkan kapasitas sebagai editor dan pekerja media. Kesalahan yang kecil yang dilakukan redaktur harian ini, sebenarnya, adalah sesuatu yang besar. Inilah yang ingin disampaikan Herman RN. Mari kita sama menyimak tulisannya; Jika si penulis hanya berpredikat sebagai penerjemah, jangan izinkan melekat dibelakang namanya kata “karya” atau “oleh”. Namun, cukup diterjemahkan oleh (misal: diterjemahkan oleh Fozan Santa, bukan karya Fozan Santa).

Saya setuju perihal ini perlu diluruskan. Saya sendiri pernah sakit hati, merasa malu, merasa tidak nyaman ketika salah satu cerpen saya dipermak Herman RN. Cerpen itu berjudul Pulang (Harian Aceh, 1 Desember 2007). Ada beberapa bagian yang diedit tapi malah merubuhkan logika cerita yang berminggu-minggu telah saya pertimbangkan. Pemerkosaan atas karya orang lain hendaknya dihapuskan dari muka bumi. Sungguh tidak menyenangkan mendengar lagu-lagu terkenal, tahu-tahu, yang mengalun adalah bahasa Aceh. Dalam konteks lain, bayangkan, seandainya perdamaian yang sekarang kita kecap adalah soneta Pablo Neruda yang disetubuhi Fozan. Atau, tiba-tiba ada sekelompok orang-orang yang mengukuhi bahwa perdamaian adalah haknya, miliknya. Sementara semua orang meresa yakin bahwa MoU Helsinki adalah anugerah Allah. Sebagaimana tercatat dalam UUD 1945; bahwa kemerdekaan adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh kerenanya, alangkah keliru jika ada penyair yang mengakui karya lain penyair. Sama kelirunya dengan mengukuhi diri sebagai pahlawan perdamaian yang kita nikmati sekarang bukanlah hadiah pemerintah Republik Indonesia.

Sutarji Calzoum Bachri, dalam bukunya Gelak Esai dan Ombak Sajak pernah memang memaparkan ihwal kekeliruan kata-kata. Namun, Joko Pinurbo, penyair kondang itu pun mengakui, betapa ia menyesalkan salah cetak dalam beberapa antolagi puisinya. Kalau SCB mengatakan bahwa salah cetak adalah rahmat. Menurut saya penempatan nama Fozan Santa atas karya-karya Pablo Neruda bukanlah sebuah rahmat, tapi sebuah kebiasaan yang kerap terjadi di negeri kita. Akhirul kalam, moga ini tidak terjadi lagi.

NB. dimuat di Serambi Indonesia, 7 Sep 2008.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg