Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2015

Tentang Dua Cerpen Heri Apriadi

Oleh Edi Miswar Mustafa ADA bagian yang hilang dalam cerpen Yang Kembali karya Heri Apriadi, Serambi Indonesia (16/02/14). Namun,   saya menemukan cerpen  Aku Pulang  yang ide ceritanya ternyata sama persis dengan cerpen Yang Kembali. Aku Pulang ditulis Heri Apriadi di harian ini pada 25 Maret 2011. Ada apa dengan kisah ini? Kenapa penulisnya sampai harus menulis ulang kisah yang sama dengan sudut  pengisahan berbeda? Meskipun ide cerpennya sama, namun kedua cerpen tersebut bukan cerpen yang sama. Perbedaan mendasar kedua cerpen di antaranya pada sudut pandang. Cerpen Aku Pulang menggunakan sudut pandang orang pertama, Firman. Sebaliknya pada cerpen Yang Kembali sudut pandang orang pertamanya adalah Razali. Cerpen Aku Pulang bercerita tentang aku yang pulang dari pelarian selama 21 tahun di Malaysia. Di sana aku dihempas kemelaratan, sampai kemudian menemukan seorang bapak yang tidak hanya memberinya pekerjaan, tapi juga anak semata wayang untuk dipinangnya sebagai istri.

Dilema Dewan Kesenian Aceh

Dear Seniman, Surat ini sengaja saya tulis untuk mereka yang merasa diri seniman, ingin menjadi seniman, terduga seniman (ini istilah teman saya presenter TerasSore Komunitas Kanöt Bu Muhadzdzier 'Maop' Salda) seniman tua-muda, seniman proletar ataupun borjuis, seniman tradisional maupun moderen. Sebagaimana diketahui masa kepemimpinan Teuku Kamal Sulaiman atas DKA selama dua periode sudah berakhir. DKA sekarang diketuai oleh Nurmaida Atmaja. Beliau adalah istri dari Ampon Yan atau bernama asli Teuku Januar; pemilik sah Teater Kosong. Dalam pidato setelah terpilih sebagai ketua DKA yang dimuat Serambi Indonesia, Maida menyatakan

Safrida Askariah dan Pemerkosaan di Leupueng

Oleh; Edi Mustafa Mustafa Lagi-lagi pemerkosaan terjadi di Aceh. Bayangkan 11 orang tak berperikemanusiaan itu memuak dalam benak kita. Dan, kita patut bertanya; apakah yang mereka pikirkan? Para pemerkosa itu! Mengapa mereka sekeji itu? Siapakah mereka? Bagi perempuan yang terkena cela mereka, mereka tentu saja, teroris paling berbahaya di seluruh dunia; dan Nordin M. Top hanyalah seorang bandit kecil. Saya teringat Safrida, tokoh dalam cerpen Alimuddin yang dimuat di harian Kompas medio Oktober 2006 dan tanggal 6 September 2009 lalu diluncurkan dalam antologi bersama penulis Forum Lingkar Pena (FLP) di Banda Aceh. Ia mantan kombatan yang dikenal gagah berani menyusup ke tempat tinggal musuh, pun seorang petempur yang pantang mundur sehingga diangkat menjadi panglima pasukan Askariyah; nama laskar perempuan dalam struktur ketentaraan GAM. Safrida adalah korban nafsu kebinatangan tentara pemerintah setelah mereka membunuh kedua orang tuanya di depan mata. Kemudian, setelah MoU Helsi

Atheis dan Wahabi

Oleh: Edi Miswar Mustafa Jujur, saya lebih suka jadi wahabi tinimbang atheis. Walaupun dipersoalkan oleh orang-orang yang mengaku diri aswaja alias ahlussunnah wal jama'ah perihal ketauhidan, wahabi jelas bertuhan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bernabi pada Baginda Rasulillah Saw. Sedangkan, atheis tidak mengakui adanya pencipta alam raya ini beserta isinya, apalagi mengakui para nabi, malaikat, dan hari akhir. Tentu ini pilihan saya jika opsinya dua. Bagi sebagian perempuan bisa saja berolok, misalnya, lebih memilih menjadi janda daripada dimadu. Tapi benarkah demikian? Bukankah dengan memilih tidak mau dimadu maka terbukalah sisi lain dari kehidupan yang bakalan mengundang marabahaya? Berkaitan dengan anak, pengasuhan dua orang tua tentu saja lebih baik daripada sing le parent. Belum lagi godaan biologis tanpa seorang suami; seberapa kuatkah seorang wanita tidak tergoda melakukan perzinaan? Apalagi jika sang janda memiliki kulit mulus, postur proposional, dan berekonomi lema