Kesalahan Kecil yang Sering Disepelekan


Oleh Edi Miswar Mustafa

Seperti awal Tahun Ajaran sebelumnya, jelang Tahun Ajaran baru ini pun setiap guru di sekolah masing-masing pastinya memperoleh Kalender Pendidikan dari kepala sekolah ataupun Wakepsek akademik. Kalender Pendidikan tersebut oleh para guru digunakan sebagai pedoman untuk merancang perangkat pembelajaran selama dua semester dalam setahun. Selembar kertas yang dibagikan kepada setiap guru tersebut berjudul “KALENDER PENDIDIKAN UNTUK TK, TKLB, SD, SDLB, SMP, SMPLB, SMA, SMALB, SMK DALAM PROVINSI ACEH TAHUN PELAJARAN 2013/2014”

Sepintas lalu, memang tidak ada yang salah dengan Kalender Pendidikan tersebut selain nama bulan November yang ditulis Nopember. Nama-nama bulan ditulis berurutan dari Juli 2013, Agustus 2013 sampai dengan Juli tahun 2014. Tanggal- tanggal tertentu diberi warna berbeda dan di bawahnya diberi keterangan. Misalnya, kolom bertanggal 8 – 11 Agustus 2013 diberi warna hijau tua dan di bawahnya tertulis keterangan; Libur bersama Hari Raya Idul Fitri. Untuk libur nasional diberikan warna merah, seperti 17 Agustus, 25 Desember; Natal (saya sempat heran juga di sini, bukankah Hari Raya Idul Fitri juga libur nasional? Mengapa warnanya lain, ya?).

Menurut KBBI Pusat Bahasa terbitan 2008 (punya saya KBBI Pusat Bahasa dalam format pdf), tidak ada nama bulan ‘Nopember’, tapi yang ada ‘November’ pada halaman 1079 (November /novĂ©mber/ n bulan ke-11 dl tahun Masehi (30 hari)).

 “Tapi ada universitas di Indonesia, namanya Universitas 10 Nopember. Pada nama universitas itu, pada nama bulannya nggak pakek ‘v’, tapi ‘p’?” kata teman saya yang juga berprofesi sebagai guru, tapi bukan guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Melihat saya agak bingung, dia pun mulai senyum-senyum. Dalam hati saya berkata, andai tak saya selesaikan persoalan ini, tentu sebagai guru bidang studi bahasa Indonesia akan dikuranginya nilai saya; setidaknya dalam pandangannya secara pribadi.

Tadinya saya justru hendak menunjukkan kesalahan Kalender Pendidikan sebagai pembuka pembicaraan agar saya dapat mencontohkan kesalahan sepele yang lain dalam berbahasa, misalnya, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi pemerintah. Ketika saya memboyong ijazah saya ke Banda Aceh seminggu sebelum Ramadan tahun ini untuk mendapatkan tanda tangan dekan dan stempel basah alias dilegalisasi, pada kaca tembus pandang yang ada di depan pegawai TU FKIP Unsyiah malah kata tidak baku ‘legalisir Ijazah’ yang tertulis, bukannya ‘legalisasi Ijazah’. Sehingga semua yang berurusan dengan orangorang di ruang berkaca bening itu akan melihat kata yang tidak baku.

Anehnya Prodi saya, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, ada di sudut lain di gedung itu, tak lebih dari dari 15 meter, barangkali. Semua dosen saya tentulah paham betul bahwa kata serapan ‘legalisasi’ yang baku. Ingatan saya pun terus meluncur. Teman saya alhasil sibuk berdiskusi dengan teman kami yang lain yang duduk semeja. Mengapa Universitas itu ‘Nopember’? Harusnya Universitas 10 November. Apakah karena logat Jawa sehingga terucap ‘Nopember’ dan jadi terbiasa seperti itu? Orang-orang berbahasa ibu bahasa Jawa memang perusak bahasa Indonesia nomor satu. ‘Katakan’, jadi ‘kataken’; ‘Semakin’, dilafalkan ‘semangkin’ (ini warisan Soeharto). ‘Salat’ dibaca ’solat’. ‘Allah’ dieja ‘Alloh’. Padahal tidak ada vokal ‘o’ dalam bahasa Arab. Jika pun ada yang dibaca seperti bunyi ‘o’, itulah yang disebut tafkhim (tebal). 

Di tengah perasaan nelangsa seperti itu, saya dapat ide saat melihat pekerja penggali kabel yang sedang beristirahat di pinggir jalan, tak jauh dari tempat kami. Dari wajahnya siapa pun tahu, dia orang Jawa. “Boleh tanya nggak, Mas?” kata saya.

“Mboleh, Pak.”

“Bulan setelah Oktober, Mas bilang-nya bulan apa?”

Saya dan teman saya memasang kuping baik-baik.

“Nopember, Pak,” ujar penggali kabel.

Saya jadi tersenyum-senyum sendiri sepulang dari bersua teman tersebut. Iseng coba saya bayangkan; berapa banyak orang yang akan membaca Kalender Pendidikan 2013/2014 dan menerima kecacatan kata itu? Bukankah kesalahan kecil yang tidak dibenarkan bakal jadi kesalahan besar?

NB. Dimuat Serambi Indonesia, 25 Agustus 2013


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg