Atheis dan Wahabi

Oleh: Edi Miswar Mustafa

Jujur, saya lebih suka jadi wahabi tinimbang atheis. Walaupun dipersoalkan oleh orang-orang yang mengaku diri aswaja alias ahlussunnah wal jama'ah perihal ketauhidan, wahabi jelas bertuhan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bernabi pada Baginda Rasulillah Saw. Sedangkan, atheis tidak mengakui adanya pencipta alam raya ini beserta isinya, apalagi mengakui para nabi, malaikat, dan hari akhir.

Tentu ini pilihan saya jika opsinya dua. Bagi sebagian perempuan bisa saja berolok, misalnya, lebih memilih menjadi janda daripada dimadu. Tapi benarkah demikian? Bukankah dengan memilih tidak mau dimadu maka terbukalah sisi lain dari kehidupan yang bakalan mengundang marabahaya? Berkaitan dengan anak, pengasuhan dua orang tua tentu saja lebih baik daripada single parent. Belum lagi godaan biologis tanpa seorang suami; seberapa kuatkah seorang wanita tidak tergoda melakukan perzinaan? Apalagi jika sang janda memiliki kulit mulus, postur proposional, dan berekonomi lemah.

Pilihan menjadi janda atau dimadu, meskipun saya seorang laki-laki, tapi saya yakin bahwa kedua-duanya adalah pilihan yang tidak menyenangkan. Berbeda dengan pilihan menjadi wahabi atau atheis, di antara pilihan wahabi ada 72 pilihan lain yang tersedia. Dan Rasulullah mengatakan hanya satu golongan dari 73 golongan, yang legal sebagai muslim sejati. Pertanyaannya apakah wahabi, muhammadiyah, ahmadiyah, sunni, syiah, dan lain sebagainya tidak mengetahui hadist nabi tersebut sehingga mereka memilih menjadi muslim ilegal daripada menjadi muslim legal: aswaja?

Saya yakin, baik alumni Timur Tengah maupun sebagian sivitas UIN Ar-Raniry mengakui dirinya sebagai aswaja. Sementara itu seseorang yang menjadi aswaja apakah cukup hanya mengaku-aku diri saja sebagai aswaja lalu sudah jadi orang aswaja? Pertanyaan ini terbersit dalam hati saya manakala saya baca status saudara kita yang malahan ada yang memaki supaya diakui benar.

Jika kita membaca sejarah Muhammadiyah di Indonesia, maka kita temukan orientasi para pendirinya. Tujuan-tujuan mereka berpangkal pada kemuliaan Islam dan keinginan untuk terlepas dari penjajahan orang-orang kafir. Tapi di masa kini ada tuduhan bahwa Muhammadiyah bukan aswaja. Demikian juga ketika membaca sejarah paham yang dinamakan Wahabiah, kiranya tujuan orang-orang berpendidikan di masa Arab Saudi masih di bawah penjajahan Inggris tidak jauh bedanya dengan sikap bapak-bapak bangsa Indonesia paska terbentuknya Budi Oetomo, Serikat Islam, PNI, PKI, dan lain sebagainya.

Kisruh antargolongan dalam Islam tidak hanya terjadi di masa sekarang. Di masa lalu perpecahan di banyak negeri-negeri Islam yang bahkan terukir dalam sejarah peradaban dunia bermula dari perbedaan pemahaman umat terhadap sumber-sumber utama hukum Islam yaitu Alqur'an dan hadist. Ironisnya sejarah hancurnya peradaban Islam di semanjung Arab, Spanyol, India, Turki, bahkan di nusantara belum menjadi cermin untuk menata diri sebagai muslim sebagaimana konsepsi yang diajarkan Rasulullah.

lakum dinukum waliyadin; untukmulah agamamu, untukkulah agamaku. Surat Alkafirin ayat terakhir menyatakan ihwal tersebut. Islam melarang mengganggu orang-orang yang beragama lain, kecuali jika mereka memulainya. Bukankah sesama kita umat Islam pun tak boleh mengganggu orang lain hanya karena tidak berqunut, tidak berkhanduri bila ada orang muslim yang meninggal dunia, tidak bertongkat bila khotbah jum'at, tidak berazan dua kali, dan lain sebagainya?

Ada lelucon seorang atheis yang bersua seorang wahabi. Karena si atheis tahu si wahabi sedang di-bully oleh mereka yang bukan wahabi, maka si atheis mengajak si wahabi untuk ikut dengannya saja berpaham atheis. Tentu saja si wahabi menyadari bahwa sahabatnya si atheis hanya bercanda. Sebab si atheis pernah mengatakan seseorang seperti dia menjadi atheis bukan semata karena tidak percaya pada agama, tapi tidak percaya pada penganut agama. Contohnya, apa beda agama-agama di dunia. Jika Islam punya Sunni dan Syiah, maka Kristen punya Katolik dan Protestan. Jika Muhammad punya sahabat, Yesus punya para murid. Jika Islam punya ulama, Kristen punya paus, kardinal, dan uskup.

Si wahabi yang tahu si atheis seorang kutu buku, terdiam. Ia pun bertanya? Menurutmu apa enaknya jadi atheis? Pertama tidak perlu berpuasa di bulan ramadhan, tidak perlu shalat, tidak perlu berdebat tentang azan dan tongkat, dan terutama sekali tidak perlu takut mati karena atheis tidak memiliki kitab yang membahas hari kebangkitan.

Akhirnya si aswaja tahu kalau si wahabi sudah beralih jadi atheis. Si aswaja bergembira karena jelas sudah baginya siapa si wahabi itu. Ketika mereka bersua, si wahabi berkata: sekarang saya mengundurkan dari debat mengenai azan dan tongkat. Carikan saja wahabi lain untuk didebat.

Kisah ini belum tentu benar dari sisi logika. Tapi ingatlah, mereka yang selama ini jauh dari mesjid sama sekali tak peduli dengan azan dan tongkat. Bahkan mungkin menyayangkan orang-orang yang sudah tinggi menuntut ilmu, tapi tidak mampu mencari solusi sehingga sesama Islam tidak terjadi perpecahan. Nah, bukankah pendapat orang-orang yang jauh dari mesjid itu benar belaka? Lantas, sepatutnya kita ikuti saja jejak golongan yang jauh dari mesjid itu? Homhai.

Lamlo, 11 Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg