Kunci Pendidikan: Orangtua, Guru, dan Masyarakat

"Kenapa baru hari ini hadir?" tanya saya pada seorang siswa yang minggu ini baru sekolah. Padahal ujian semester pertama tahun pelajaran 2021/2021 tanggal 29 November 2021.


"Karena bentar lagi ujian, Pak?" jawab si anak.


Dialog di atas bukan rekaan, tapi kenyataan. Dan saya hanya ingin menggambarkannya kepada pembaca. Nah, kira-kira mengapa jawaban si anak bisa 'se-ala kadar' itu?

Jawaban saya: sinergitas. Jika sekolah diumpamakan sebagai poros tengah dalam upaya bersama mendidik dan mencerdaskan generasi masa depan bangsa, guru atau sekolah tak lagi terhubung dengan wali murid atau dengan masyarakat sekitarnya. Jika dulu keterhubungan antara guru dengan wali murid atau masyarakat terlihat dengan antusiasnya masyarakat menanyakan, meminta, dan lainnya, kepada seorang anak berseragam sekolah yang berada di tempat-tempat umum seperti warung kopi, pasar, dan lainnya, sebaliknya hal tersebut sangat langka kita temui dewasa ini.

Ada yang bilang, kalau dulu seorang siswa ditegur seseorang, agar kembali ke sekolah, jangan di jalanan, jangan di warung kopi, dan lain-lain, orangtua si anak akan mendukung dan berterima kasih kepada seseorang tersebut. Sekarang, sebaliknya. Banyak kita dengar sikap orangtua yang salah kaprah menyayang si anak. Ketika anaknya ditegur, si orangtua malah bersikap kasar kepada si penegur anaknya. Perubahan pandangan orangtua dulu dan orangtua sekarang menghasilkan ciri khas siswa masa kini: urusanku bukan urusanmu. Tentu saja tidak semua anak seperti itu karena tidak semua orangtua salah kaprah mencintai anak-anaknya.

Keterhubungan lain yang terputus antara guru dan wali murid atau masyarakat adalah kekeliruan cara pandang mengenai sekolah. Sekolah sebenarnya sama saja dengan lembaga pendidikan lainnya meskipun disebut lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan nonformal. Sekolah dan dayah bertujuan mendidik generasi bangsa. Yang namanya mendidik titik tujunya adalah karakter atau bahasa agamanya: akhlak. Karakter atau akhlak butuh waktu belasan tahun untuk mewujud dalam diri seorang anak. Bisa jadi karakter si anak akan terbentuk dari usia balita sampai usia 12 tahun. Bisa jadi lebih lama dari itu.

Selama rentang waktu tersebut, seorang anak menjalani hari-hari antara rumah, sekolah/balai pengajian (dayah), dan berbaur dengan anak-anak lainnya dalam suatu komunal yang kita namakan masyarakat. Oleh karena itu, karakter seorang anak dibentuk oleh kedua orangtuanya, guru, dan masyarakat. Dan patut diingat, masa pembentukan karakter si anak sangat ditentukan oleh peran orangtua. Sehingga dalam Islam dinyatakan bahwa yang memajusikan seorang anak, yang menasranikan seoeang anak, yang mengislamkan seorang anak adalah orangtua.

Orangtua adalah pelabuhan utama untuk melatih seorang anak untuk jujur, rajin, dan sebagainya. Jika pelabuhan pertama ini tidak maksimal, pelabuhan berikutnya; apakah di sekolah, lingkungan rumah, kemungkinan besar juga akan mengalami kegagalan. Tetangga mak saya pernah menyampaikan keluhan agar supaya saya menasehati anaknya: jangan terus-terusan di warung kopi, rajin belajar, dan jangan pulang menjelang pagi. Tentu saja saya hanya tersenyum tulus. Namun di hati, batin saya berdiskusi: kalau Anda sebagai orangtuanya, yang memberi dia makan, jajan, tidak mampu mengontrol si anak, apalagi saya yang cuma gurunya, tidak pernah memberi anak itu makan dan tidak pernah pula memberikannya jajan.

Orangtua-orangtua begini, banyak di tempat kita. Mereka sebenarnya bukan gagal mengurus anak, tetapi mereka masih menggunakan konsep lama dalam mengurus anak. Ibu sebagai tiang rumah tangga telah menjadi modal pembenaran bagi banyak suami untuk tidak berbagi peran yang adil dalam upaya membesarkan anak-anaknya. Bayangkan seorang ibu yang melahirkan, memasak, mencuci dan mengurus anak sampai 4, 5 bahkan hingga selusin? Sementara suami di warung menghabiskan banyak waktunya. Mungkinkah seorang anak terlatih untuk hidup jujur, rajin? Saya sengaja menyebut jujur dan rajin: karena dua sifat ini yang menjadi landasan penting untuk seorang anak.

Sementara di negeri dengan kualitas pendidikan yang jauh di atas Indonesia, peran kedua orangtua dalam mengasuh benar-benar maksimal. Kedua orangtua melatih anaknya hidup jujur, rajin, buang sampah pada tempatnya dan lainnya sehingga kemudian karakter baik mewujud dalam diri seorang anak.

Di Aceh, kebanyakan peran pengasuhan timpang. Seperti yang saya sebut di atas, sosok ayah sangat langka berbagi peran yang sama dengan istri. Ayah hanya akan turun tangan ketika istri sudah melapor bahwa ia sudah kewalahan mengasuh si anak. Saat ayah turun tangan, terjadilah kenakalan remaja. Ayah main gampar dan sebagainya. Sehingga kemudian si anak lebih betah di warung kopi tinimbang di rumah. Seharusnya kerjasama ayah dan ibu sejak usia anak mereka masih balita. Mereka harus sepakat bahwa karakter yang mereka bentuk adalah jujur dan rajin.  Dan prinsipnya jika mereka mau anaknya menjadi pribadi yang jujur dan rajin, orangtua harus menjadi role model lebih dulu, jadi contoh riil.

Kondisi keluarga yang umumnya berpola pengasuhan timpang tersebut kemudian mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah ataupun dayah. Di pintu gerbang sekolah banyak orangtua beranggapan bahwa anak saya sudah saya antar ke sekolah, maka tugas gurulah yang mencerdaskan anak-anak saya. Inilah persepsi yang keliru. Fatal. Guru memang ujung tombak pendidikan, tetapi seorang guru butuh kerjasama, butuh keterhubungan dengan para wali murid. Di samping itu para orangtua perlu mengetahui bahwa sekolah bukan hanya tempat untuk mengisi otak si anak dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Tetapi tujuan utama sekolah adalah pembentukan karakter.

Ini yang harus dipahami bersama. Dengan pemahaman yang sama, tujuan utama dapat diusahakan. Oleh karena itu, orangtua, guru, dan masyarakat harus mampu bekerjasama. Apa bentuk kerjasamanya? Untuk tingkat SD, barangkali, para orangtua dapat selalu mendampingi anaknya belajar, menemani membuat PR, dan memastikan anaknya melihat roster pelajaran pada malam harinya. Untuk anak tingkat SMP, SMA? Jam berapa anaknya pulang malam? Adakah anaknya buat PR? Mengulang pelajaran?

Terus, apa peran masyarakat? Gadget, misalkan. Di mana-mana kita lihat penyalahgunaan gadget. Anak-anak menghabiskan banyak waktu dengan gadget. Orangtua harus buat aturan. Di samping itu, untuk mengalahkan keasyikan bermain internetan, sebaiknya masyarakat (termasuk pemerintah) harus mengadakan banyak lomba rutin, apakah bidang olahraga, seni dan lainnya sehingga energi anak tidak dihabiskan untuk bermain gadget semata.


Jika pola pengasuhan optimal antara ibu dan ayah sejak masa anak masih usia dini sampai usia kuliah, kemungkinan besar pembentukan karakter akan berhasil. Masyarakat, dalam hal ini, hanya perlu membagi ruas-ruas jalan tertentu, seperti di paragraf sebelumnya, agar anak misalnya tidak hanya lalai dengan internetan.


Meureudu, 11 November 2021

NB. Dimuat di Liputangampongnews.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg