Postingan

Menampilkan postingan dengan label esai

Tentang Mereka yang Telah Tiada

Gambar
Oleh; Edi Miswar Mustafa                 Saya kerap membayangkan orang-orang yang telah tiada semasa konflik, khususnya mantan kombatan; apa yang mereka bicarakan di alam sana menjelang pemilu kedua yang akan digelar dengan ”demokrasi ala pancasila” seusai kesepakatan di Finlandia kira-kira hampir tujuh tahun yang lalu? Apakah mungkin, di alam sana, juga terdapat warung kopi dan meskipun tanpa fasilitas internet, mereka dapat mengakses kondisi Aceh saat ini dengan sepuasnya?             Saya tidak tahu dengan pasti: itu jawabannya. Dan, saya harus melanjutkan kemungkinan-kemungkinan menurut pikiran saya sendiri. Saya rasa mereka akan berkata bahwa suatu wilayah harus ada pemimpin, tentu saja. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa menghargai rakyatnya sebagaimana arti bebas yang kita pahami, yakni kata: demokratis. Oleh karenanya, pemerintahan dibentuk agar keperluan rakyat dapat dilayani. Seseorang dari mereka menekankan: bahwa pemerintah sebenarnya dalam fungsinya

The Death of Edi Miswar Mustafa

Gambar
Oleh ; Edi Miswar Mustafa Perihal ini tentu saja jauh terbenam di lubuk sebuah institusi yang dinamakan perguruan tinggi. Terlalu kecil untuk dipersoalkan oleh kebanyakan warga sivitas akademika. Konon lagi apabila hendak disandingkan dengan tulisan ironisma, Unsyiah Antara Peugah Haba Ulua Nanggroe ngon Taloe Ki’ieng Ngom yang ditulis seorang dosen fakultas pendidikan di sebuah harian terbitan lokal beberapa waktu lalu. Saya merasa tergugah dan merasa terbelai karena sedikit banyak suara sang dosen tersebut juga suara kami, para mahasiswa.   Sudah pasti pula bila sesuatu hal akan dinilai besar atau kecil ditentukan oleh perspektifitas. Goenawan Mohammad, seorang sastrawan Indonesia ternama, pernah menulis tentang ini dalam salah satu esainya di buku Catatan Pinggir 3. Dan bagi saya saat itu adalah judul tulisannya yang sangat menarik; The Death of Sukardal. Kira-kira apa ya yang ia tulis di Catatan Pinggir ini, begitu saya membatin seraya membuka lembar demi lembar. Nyat

Karya Sastra yang Maha

Oleh : Edi Miswar Mustaf a Dalam kesusastraan tidak ada yang nomor satu. Karena karya Yang Maha itu memiliki kelebihan dan kekurangan yang khas. Maha besar-nya sebuah karya hanyalah keterpaksaan pengklasifikasian. Ada karya-karya yang dianggap kurang berarti, ada karya-karya yang bernilai sedang saja, dan memang ada karya yang pantas disebut besar. Namun,   setiap karya yang pantas disebut karya besar harus memiliki beberapa nilai yang menjadi ciri dari kebesarannya. Ciri yang pertama ialah sebuah karya yang besar harus mengandung kebenaran dan kejujuran. Kemudian ciri yang kedua ialah dapat memunculkan persoalan kemanusiaan yang tidak mengenal teritorial apakah itu persoalan dunia timur atau persoalan dunia barat. Sebab, karya sastra adalah milik dunia, kekayaan khazanah kebudayaan manusia. Ciri yang ketiga adalah bentuk teknik penyajian dan isinya yang baik: apakah gaya penceritaan, karakter tokoh, jalinan cerita, sehingga ketika karya tersebut usai dibaca mampu meninggalk

Soliloqui Seorang Caleg

Gambar
Oleh Edi Miswar Mustafa SAYA teringat Azhar Peureulak yang pernah menulis; Seandainya Saya Gubernur Aceh. Tetapi sekarang, entah ke mana orang ini. Saya menduga, ia sudah diperingatkan, maka tak berani lagi menulis-boleh jadi tulisannya yang pedas membuat sigubernur asli terusik. Maka sekarang saya iseng, dan berkhayal satu frasa; “seandainya saya seorang caleg”. Seandainya saja begitu, saya tak di sini, duduk menjuntai kedua kaki seraya memandangi para mahasiswi yang berbedak, bercelak dan berdandan rapi melintas di jalan. Saya membayangkan sebagai calon anggota dewan, pada saat ini saya sedang membaca beragam sarkasme dari sejumlah penulis karena ‘kata-kata mutiara’ yang tertera di foto-fotonya. Dan, saya tidak pernah sempat menerka akan serunyam ini. Padahal, ketika menuliskan kata-kata ajaib itu, pertimbangan-pertimbangan mereka pastilah telah amat matang. Pertama, kata-kata itu haruslah selaras dengan visi partai yang memayunginya. Kedua, antara caleg separtai diusahak

Guru PPL Bukan Babu

Oleh; Edi Miswar   Mustafa Seorang Bu Guru, pada salah satu SMP di Banda Aceh, meminta mahasiswa yang dipamonginya membeli dan mengantarkannya satu pot bunga anggrek ke rumah (tak lupa Bu Guru juga menyebutkan nama jenis anggrek idamannya). Si mahasiswa tak dapat menolak, ia harus patuh jika ingin lulus matakuliah Praktik Pengalaman Lapangan bobot 4 SKS  atau lazim disebut PPL. Sesampainya di tempat penjualan bunga/tanaman hias, si mahasiswa nyaris menangis saat mendengar sang penjual bunga menyebut harga anggrek jenis yang diinginkan si ibu guru; tak kurang dari tiga ratusan ribu. Bayangkan, si mahasiswa hanya dapat kiriman per bulan Rp 300 ribu dari orangtuanya yang bermata pencaharian sebagai petani nun jauh di Aceh Barat sana. Jujur, tulisan ini saya tulis tidak dengan maksud untuk menyepelekan harga asuhan atau didikan yang telah diterima seorang mahasiswa yang telah berpraktik di sejumlah sekolah. Sebagai seorang mahasiswa yang pernah mengikuti program matakuliah te

Koran dan Kekayaan Kata-kata Sastrawan

Oleh: Edi Miswar Mustafa Dalam tulisan saya sebelumnya, sastra; yang bagaimana? ( Serambi , 19 Oktober 2008), saya menulis – tidak cuma pada pementingan kepintaran berbahasa si cerpenis . Kemudian pada alenia berikutnya;   Mengukuhi gaya bahasa puitis nan murah kata adalah yang sastra sementara gaya hemat kata, bukan sastra, mungkin, sungguh tak berdasar. Karena suatu karya yang wahid ditentukan oleh kepaduan bentuk dan pada isi yang serasi. Begitulah, karena beberapa kalimat ini sekian pesan masuk mempertanyakan. Tentunya begitu kontradiktif dengan julukan sastrawan yang dihaturkan pada mereka. Masa iya sastrawan punya kata-kata sedikit amat? Katakanlah ini disebut apresiasi sastra dan mengutip kata-kata Pramoedya Ananta Toer, karya-karyanya adalah anak-anak nuraninya - biarkan ia bebas menghirup udara dunia - maka dunialah yang menentukan nasibnya. Karya itu ada yang besar namun juga banyak yang remeh temeh dan hal itu tergantung sisi pragmatisma, sisi pembacanya y