Soliloqui Seorang Caleg




Oleh Edi Miswar Mustafa

SAYA teringat Azhar Peureulak yang pernah menulis; Seandainya Saya Gubernur Aceh. Tetapi sekarang, entah ke mana orang ini. Saya menduga, ia sudah diperingatkan, maka tak berani lagi menulis-boleh jadi tulisannya yang pedas membuat sigubernur asli terusik. Maka sekarang saya iseng, dan berkhayal satu frasa; “seandainya saya seorang caleg”. Seandainya saja begitu, saya tak di sini, duduk menjuntai kedua kaki seraya memandangi para mahasiswi yang berbedak, bercelak dan berdandan rapi melintas di jalan.

Saya membayangkan sebagai calon anggota dewan, pada saat ini saya sedang membaca beragam sarkasme dari sejumlah penulis karena ‘kata-kata mutiara’ yang tertera di foto-fotonya. Dan, saya tidak pernah sempat menerka akan serunyam ini. Padahal, ketika menuliskan kata-kata ajaib itu, pertimbangan-pertimbangan mereka pastilah telah amat matang. Pertama, kata-kata itu haruslah selaras dengan visi partai yang memayunginya. Kedua, antara caleg separtai diusahakan berbeda ‘mutiara kata’-nya. Ketiga, dengan para caleg partai lain jangan sampai sama kata-kata mutiaranya. Keempat, kata-kata mestilah unik, membujuk pemilih-pemilih -seakan-akan memberikan perhatian kepada kalangan bawah, juga yang islamis, dan jangan sampai terkesan sombong.

Ada yang meninjau secara sosiolinguistik; kata-kata itu haruslah berbahasa secara kontekstual, sebagai pemberi informasi mengenai diri (tak lebih) dan partainya. Seorang caleg menanggalkan sapaan aslinya semisal dari ustad menjadi teungku agar lebih terasa familiar dengan masyarakat Aceh. Ada juga yang ikut-ikutan gaya populis berbusana serupa Irwandi-Nazar ketika meraih suara terbanyak saat pilkada beberapa tahun yang lalu. Ada juga yang seakan-akan SBY sendiri di baliho tersebut yang berpose; terlihat ramah, bersahaja, dan bermata teduh seteduh permukaan danau di kala lembayung senja menyoja di ufuk barat.

Yang dari ustad menjadi teungku akan diomeli oleh mereka yang bergelar teungku asli. Sebab, bagi orang kampung kebanyakan di Aceh akan sangatlah lucu dan aneh jadinya bilamana penyerangkaian nama seperti Prof. DR. Tgk. H. Mandi Pagi, M. Si., Lc, MBA. Sementara, bagi yang suka disapa ustad pada umumnya merasa kurang diwibawakan jikalau dipanggil teungku karena gelar itu bisa saja digunakan semua laki-laki di Aceh. Rencananya, setelah terpilih nanti, gelar ustad dipakai lagi, sedangkan gelar teungku akan dilepas kembali.

Yang caleg berbusana macam pengantin laki-laki tentu lain lagi. Penampilan baginya menandakan sikap patriotisme dan berjiwa Aceh sejati. Terasa membenarkan diri dengan perwajahan mereka yang seolah-olah berkata, “kamilah orang-orang yang selama ini mengucurkan keringat darah dan airmata nestapa memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, maka pilih kami sebab kami berjiwa Aceh Indatu; yang lain adalah pemain-pemain lama. Sudah kotor berlumpur selokan, karatan, dan sudah mengumpulkan banyak harta yang cukup untuk makan anak-cucu tujuh turunan. Seakan mereka pemilik sah negeri ini, sedang yang lainnya sewa alias kost. Keterlaluan memang!

Nah, mereka yang tergolong pemain lama tak jera-jera sambil menampilkan citra, menampakkan kebaikan-kebaikan lewat baliho-baliho maha besar. Warna baliho lebih cerah; hidung, mata, dan dagunya telah dimaniskan karena didesain oleh art desaign nasional lagi terkenal. Di segenap penjuru kemudian turun penyukses-penyukses si caleg membagi-bagikan kartu nama, baju partai yang berlogo nan indah, dan tak lupa, gula serta minyak goreng. Istri-istri para penyukses ini pun bergerak manis membagi-bagikan selembar seorang kain pelikat terbaik khusus yang seakan mengungkap kasihnya si caleg kepada calon si pemilih. Tentu saja yang dianggap bersimpati terutama sekali keluarga penyukses oleh-oleh tersebut. Lalu, sang caleg sendiri akan menampilkan diri dengan sejumlah kekhasan. Bilamana sedang jaga malam maka ia akan membayarkan makanan para penjaga malam tanpa menyinggung-nyinggung; hari H pilih saya ya. Yang punya mobil akan selalu membuka kaca mobilnya setiap kali berpapasan dengan masyarakat seraya menerbitkan seberkas senyum plus tabik-tabikan penuh ramah tamah sambil memfasih-fasihkan lafal salam. Sedangkan yang pandai menghafal rukun khutbah jum’at akan kerap tampil di atas mimbar; triknya, tidak berkampanye secara verbal tetapi kampanye secara non verbal. Biasanya sebelum masuk waktu jum’atan, si caleg ke salon dulu agar wajahnya kelihatan berseri-seri di hadapan jama’ah jum’at yang dirahmati Allah.

Orang-orang tak akan tahu bahwa para caleg di waktu malam biasanya termenung lama seusai mendengarkan perincian yang dibuat sang istri; anggaran periklanan telah, anggaran untuk gerombolan penempel dan penancap bendera dan foto-foto telah sekian juga, anggaran sumbangan untuk mesjid-mesjid, bahkan anggaran untuk menghadirkan mubalig mahal dikala malam maulid di kampung si caleg beberapa hari lalu. Kemudian, si istri, mengutarakan berapa sudah pinjaman-pinjaman si caleg pada toke ini-toke itu.

Alhasil, tersimpulkan begini; kalau saya terpilih nanti, satu bulan yang tiga puluh hari itu, terus, bila dikalikan 12 maka 360 hari, terus, bila dikalikan 5 tahun maka masa menjabat yang kurang lebih 1.800 hari; maka yang harus saya lakukan pada 360 pertama adalah bagaimana caranya untuk disertakan dalam komisi anggaran atau komisi yang berhubungan dengan rupiah sehingga proyek-proyek melalui saya. Di samping itu, di antara anggota dewan-anggota dewan lain saya harus berprestasi di bidang ‘berani vokal’ yang pertama; menyuarakan kepentingan rakyat kecil. Kedua, berpura-pura tidak pernah takut pada militer agar disukai rakyat. Pandai membawakan diri dalam kalangan pers. Prinsipnya, hormatilah orang-orang pers walaupun hanya seorang wartawan muda. Pokoknya, kalau ada kenduri di rumah maka si wartawan senantiasa diundang. Dan, jangan sapa kamu tapi sapalah si wartawan dengan sapaan ‘dik’ atau ‘nak’ maka selesailah sudah perjuangan 360 hari pertama.

Sembahyang mestilah sering berjamaah. Ketemu sama peminta-minta, tunjukkan kemurahan hati. Rekening bank jangan cuma dua tapi harus banyak. Pakaian tidak usah dulu yang terlalu mentereng. Baru-baruan terpilih jangan dulu beli mobil, pakai saja mobil dinas. Tapi, kepada kontraktor-kontraktor jangan melupakan kerjasamanya meskipun di belakang, mereka dikentuti. Singkatnya, kalau mau pandai membawa diri, bacalah buku-buku motivasi semacam; Berpikir dan Berjiwa Besar karya David J. Swartz atau karya-karya hebat Dale Carnegie. Usahakan juga, anak dan istri jangan dulu menampakkan kelakuan-kelakuan konsumtif. Ke arisan biasa mohonlah untuk mengenakan pakaian-pakaian lama saja. Ke kenduri famili-famili di kampung begitu juga. Dan begitulah kita. Dan andai saja satu periode menduduki kursi sebagai anggota dewan yang terhormat cuma 1.800 hari mampu berbuat yang terbaik bagi rakyat banyak, bukan untuk diri sendiri.
Entahlah!

Medio 2009

NB. Pernah dimuat di Serambi Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara