The Death of Edi Miswar Mustafa



Oleh; Edi Miswar Mustafa


Perihal ini tentu saja jauh terbenam di lubuk sebuah institusi yang dinamakan perguruan tinggi. Terlalu kecil untuk dipersoalkan oleh kebanyakan warga sivitas akademika. Konon lagi apabila hendak disandingkan dengan tulisan ironisma, Unsyiah Antara Peugah Haba Ulua Nanggroe ngon Taloe Ki’ieng Ngom yang ditulis seorang dosen fakultas pendidikan di sebuah harian terbitan lokal beberapa waktu lalu. Saya merasa tergugah dan merasa terbelai karena sedikit banyak suara sang dosen tersebut juga suara kami, para mahasiswa. 


Sudah pasti pula bila sesuatu hal akan dinilai besar atau kecil ditentukan oleh perspektifitas. Goenawan Mohammad, seorang sastrawan Indonesia ternama, pernah menulis tentang ini dalam salah satu esainya di buku Catatan Pinggir 3. Dan bagi saya saat itu adalah judul tulisannya yang sangat menarik; The Death of Sukardal. Kira-kira apa ya yang ia tulis di Catatan Pinggir ini, begitu saya membatin seraya membuka lembar demi lembar.

Nyatanya Sukardal itu nama orang. Ia tukang becak yang baru saja gantung diri. Sebab, beberapa hari sebelumnya becaknya telah ditertibkan oleh mereka yang dititahkan untuk membuat Jakarta lebih indah tanpa tukang becak di jalanan ibukota.

Di sinilah besar dan kecil saling ingin mengunjuk. Sekali waktu si kecil naik ke atas mejanya dan mengacungkan sebelah tangannya. Sekali waktu yang lain si besar juga berbuat hal sama. Dan kedua-duanya nampak oleh mata kita yang hanya bisa menatap mereka.  Goenawan Mohammad juga melihat dan tidak lantas segera mengatakan bahwa yang besar yang benar atau yang kecil mendapat pembelaannya. Ia seperti memohon kepada khalayak untuk melihat permasalahan itu dengan khitmat.

Bagi team penertiban ibukota, becak Sukardal adalah permasalahan yang membuat macet dan karenanya alangkah semrawutnya megapolitan. Becak Sukardal merupakan satu dari sekian keberhasilan penertiban yang tertulis rapi di papan kantor satpol PP. Masih banyak becak-becak lain di samping becak Sukardal yang cuma satu. Pemerintah punya impian bahwa suatu hari nanti Jakarta mirip dengan New York atau Paris yang tidak becak berseliweran di jalan raya. Orang-orang seperti Sukardal harus mengerti. Ataupun, pejabat yang berwenang meniadakan becak di jalan-jalan ibukota harus mengenyampingkan suara hati kecil mengenai kemelaratan dan keprihatinan saudara-saudara sendiri. Demi satu hal barangkali; menunjukkan peradaban kita yang maju kepada orang-orang lain.

Tetapi bagi Sukardal, hal tersebut sangat besar. Becak adalah harapannya dan beberapa perut lainnya nun jauh di pelosok Jawa Barat. Becak merupakan pusat kehidupan karena Sukardal dan anak-anaknya membutuhkan makan. Sukardal menjadi kalut di tengah pikirannya yang kusut. Kepada anak-anaknya yang piatu, yang selama ini ia titipkan ke orang tuanya ia menulis sepucuk surat. Sepucuk surat yang belum sempat terkirimkan atau memang sengaja tak jadi dikirimkan. Sukardal mohon maaf kepada anak-anaknya karena ia tak mampu lagi memberikan mereka makan.  Becaknya yang cuma satu-satunya itu, yang baru lunas dari kredit yang melilit perut dan leher, hari ini tanggal ini dan bulan ini di tahun ini telah dirampas oleh penguasa, demikian Sukardal yang mengabari kepada anak-anaknya. Surat itu ditemukan dalam saku celananya ketika tubuh Sukardal telah tergantung kaku.

Saya terdiam lama. Lama sekali seusai membaca esai singkat tersebut. Udara terasa menjejak tiap ruang. Rekahnya sang surya kala itu seolah memuram perlahan. Perlahan sekali. Sukardal si tukang becak itu telah lama tiada, sekitar akhir 80-an. Namun, waktu serasa demikian tak membuat saya dan tragedi itu menjarak. Anak-anaknya bisa jadi baru beberapa hari atau minggu atau bulan kemudian baru tahu bahwa orang yang menyumpal mulut mereka selama ini telah mati. Mati.

Alangkah harumnya mati. Sukardal mati bunuh diri. Rasa ketidakadilan padanya hanya akan ia beberkan kelak di hadapan Penguasa Akhirat. Dan saya tidak tahu ia berdalih. Sebab, bunuh diri itu kafir. Dan kafir neraka tempatnya. Tetapi Tuhan mungkin akan mendengarkannya. Mungkin juga Tuhan akan memasukkannya ke surga dan jatah neraka itu ditukar dengan penguasanya yang lalim. Sukardal yang berdiri di tepi neraka dan penguasa itu yang berdiri di tepi surga akan saling bertukar tempat. Persis pergantian pemain dalam permainan sepakbola. Sukardal berseri-seri. Penguasa itu meratap. Tapi Malik Zabaniah takkan pernah merasa iba, lalu mempersilakan si penguasa masuk neraka.

Andai saya yakin bahwa cerita seperti itu bisa saja terjadi, saya ingin seseorang nantinya menulis dan tulisannya berjudul The Death of Edi Miswar Mustafa. Seorang mahasiswa yang bunuh diri karena kuliahnya yang tak juga selesai-selesai. Seorang mahasiswa tamatan pendidikan guru sekolah dasar yang punya cita-cita menulis; baik fiksi maupun non fiksi. Seorang mahasiswa yang akhirnya terlunta-lunta karena kesalahannya sendiri telah mendaftarkan diri ke satu jurusan pendidikan karena dikiranya bahwa di sanalah ia akan mendapatkan ilmu menulis yang sesuai dengan standardisasi kepenulisan. Tentunya mati akan sangat menyenangkan. Dosen-dosen akan mengenangkan-ngenangkan saya sebagai sosok yang menyedihkan. Dara-dara yang saya cintai akan menangis untuk seumur hidupnya.

Tentunya tulisan tersebut maunya juga bercorak sama; strukturnya mempertentangkan antara yang besar dan yang kecil. Membandingkannya antara perspektif seorang Edi Miswar Mustafa dan perspekstif institusi pendidikan guru.

Perspektif institusi pendidikan guru misalnya; seorang mahasiswa memang lumrahnya harus ada yang diberi nilai A, B, C, D, atau E. Seorang mahasiswa memang lumrahnya jangan lugu, jangan sok-sok memperjuangkan idealismanya. Seorang mahasiswa tak perlu memedulikan antara kehebatannya lulus ‘sangat sempurna’ dengan skripsi yang diupahkan sejuta rupiah.

Oya, untuk hari ini (Selasa, Februari 2009), demikian dulu. Jadwal saya hari ini ke pengajaran jumpa dengan Bang Adi. Saya akan melaporkan kepada kalian (orang-orang yang saya hormati) bagaimana sesungguhnya perihal saya – tentu saja hal kecil dibandingkan hal-hal lain yang sehari-harinya di terjadi di perguruan tinggi kita – ditangani. Senin, kemarin, pukul 13.46 WIB, saya telah menjumpai orang-orang dipengajaran. Saya mengatakan tak apa-apa bahwa besok lagi berurusan dengan mereka seperti yang mereka inginkan. Karena saya dapat memaklumi bahwa mereka sudah kecapaian hari ini. Saya memutar langkah menuju pintu keluar, kembali ke motor butut saya dan pulang. Ingin benar meluruskan punggung saya di kasur palembang kamar seorang teman. Dan, saya berpikir tak perlu memberitahukan mereka kalau saya telah hampir dua jam menunggu di kantor pengajaran.

Hari Senin itu kulihat mata mereka di pengajaran yang bersinar gembira karena uang-uang mahasiswa masuk ke kantong mereka. Yah, administrasi. Dua puluh ribu seorang. Ada mahasiswa yang menawar, lima ribu saja, Bang. Orang pengajaran itu sambil tersenyum-senyum menjawab, memang segini. Kalau kurang dari ini apa nantinya kata yang lain (maksudnya; orang-orang di pengajaran).

Saya telah lama mendengar proses aneh ini dari teman-teman. Beberapa kali saya lihat. Tapi, belum tergerak untuk menulis di koran. Saya kuatir akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Bahkan ada yang bilang, bawa saja satu bungkus rokok gudang garam puntung.

Memang, kalau dipikir-pikir Rp 10.000, kecil nilainya. Tetapi bagi saya, mungkin bagi banyak mahasiswa, nilai uang sekian dapat untuk mengganjal perut selama dua hari. Di sini pun terdapat perspektif.

Tunggulah tulisan saya berikutnya (sambungan dari tulisan ini) yang menceritakan kejadian hari ini. Bang Adi, saya lihat kemarin mengemukakan dalih-dalih yang membuat saya semangat saya semakin kelam saja. Mengapa kamu begini. Mengapa … mengapa …. dan banyak mengapa yang lain. Saya jawab, saya mau solusi bukannya menyusuri kekeliruan saya mengapa tidak men-save-kan KRS online semester genap yang lewat. Sehingga Kartu Hasil Studi saya cuma kertas putih polos tanpa huruf A, B, C, D, atau E, atau X, atau T.

Dan dalam matanya saya lihat; ia yang menilai-nilai ke dalam diri saya apakah saya mau memberikannya upah?

Uh, keluh saya di atas motor yang melenggak-lenggok di jalan kampus. Saya pulang. Pendidikan. Pendidikan kita. Pendidikan di negeri kita. Kata para cerdik pandai, dengan pendidikanlah manusia menjadi lebih manusia. Benarkah?
Bersambung …

Blang Krueng, 24 Februari 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg