Guru PPL Bukan Babu



Oleh; Edi Miswar  Mustafa

Seorang Bu Guru, pada salah satu SMP di Banda Aceh, meminta mahasiswa yang dipamonginya membeli dan mengantarkannya satu pot bunga anggrek ke rumah (tak lupa Bu Guru juga menyebutkan nama jenis anggrek idamannya). Si mahasiswa tak dapat menolak, ia harus patuh jika ingin lulus matakuliah Praktik Pengalaman Lapangan bobot 4 SKS  atau lazim disebut PPL.
Sesampainya di tempat penjualan bunga/tanaman hias, si mahasiswa nyaris menangis saat mendengar sang penjual bunga menyebut harga anggrek jenis yang diinginkan si ibu guru; tak kurang dari tiga ratusan ribu. Bayangkan, si mahasiswa hanya dapat kiriman per bulan Rp 300 ribu dari orangtuanya yang bermata pencaharian sebagai petani nun jauh di Aceh Barat sana.
Jujur, tulisan ini saya tulis tidak dengan maksud untuk menyepelekan harga asuhan atau didikan yang telah diterima seorang mahasiswa yang telah berpraktik di sejumlah sekolah. Sebagai seorang mahasiswa yang pernah mengikuti program matakuliah tersebut saya hanya dapat berharap bahwa program latihan menjadi guru yang sesungguhnya di sekolah-sekolah, khususnya di Banda Aceh dan Aceh Besar, dapatlah sekiranya dievaluasi, baik oleh pihak FKIP/Tarbiyah, Dinas Pendidikan, maupun pihak sekolah.
Kita tahu bahwasannya program PPL sangat penting, setidak-tidaknya seleksi awal, untuk melahirkan seorang guru yang mumpuni. Saya sendiri mengklasifikannya menjadi tiga manfaat: pertama, bagi dunia pendidikan; kedua, sekolah; dan ketiga, si mahasiswa calon guru itu sendiri. Secara sederhana untuk yang pertama kita dapat menyebutnya; regenerasi guru.
Lembaga Pendidikan Guru (FKIP/Tarbiyah) hadir ke tengah-tengah masyarakat sebagai upaya peningkatan mutu bangsa. Guru adalah salah satu pilar kehidupan. Program PPL hanyalah kelanjutan fase dari sekian fase lainnya bagi mereka yang telah memilih menjadi guru.  
Bagi sekolah, program PPL dapat dikatakan sebagai penyegaran. Dengan kehadiran mahasiswa PPL, fakultas keguruan melalui mahasiswa-mahasiswa tersebut mendistribusikan sejumlah informasi-informasi ke sekolah-sekolah. Apakah itu materi pembelajaran, metode mengajar, sistem pengayaan kurikulum, dan sebagainya. 
Bagi calon guru, program PPL adalah suatu ”penyerahan diri secara total” kepada profesi yang telah dipilih. Ada tiga tahapan di sekolah harus dilalui, yaitu tahap observasi: berakrab-akrab dengan guru pamong dan guru-guru lainnya serta belajar cara berteman antara guru dan murid-muridnya. Kemudian fase mengajar terbimbing, yaitu fase mempersiapkan bahan ajar dan mengajar ke sejumlah kelas di mana guru pamongnya mengajar. Pada fase ini seorang mahasiswa mengajar masih ditunggui atau dikontrol guru pamongnya di dalam atau di luar kelas. Tugas guru pamong mencatat dan memberikan masukan-masukan kepada si mahasiswa. Selanjutnya, yang terakhir, fase mengajar mandiri. Masa-masa ini mahasiswa masuk kelas dan mengajar tanpa ditunggui atau dikontrol lagi oleh guru pamongnya.  
Jika di kampus si mahasiswa harus memahami sejumlah konsep sesuai dengan bidang studi yang telah dipilih si mahasiswa, sesampainya di sekolah konsep-konsep itu mesti ia padukan dengan iklim belajar  sekolah. Ada sekolah yang dapat diterapkan sejumlah strategi belajar-mengajar sebagaimana pernah dipelajari mahasiswa pada Matakuliah Strategi Belajar-Mengajar dan Matakuliah Micro Teaching, misalnya, tapi ada juga sekolah yang tidak dapat diterapkan sejumlah strategi belajar-mengajar karena faktor motivasi belajar siswa yang rendah.
Si mahasiswa calon guru harus memahami ini. Dia tidak boleh hanya fokus memikirkan ”apa-apa saja harus didapat para siswa dari seorang guru ketika terjadi proses belajar-mengajar”, tapi lebih dulu paham bagaimanakah motivasi siswa di dalam kelas. Sebab, seorang guru bukanlah menghadapi benda mati, tapi benda hidup. Dengan bahasa lain, di sinilah akan tampak bahwa menjadi seorang guru manakala mahfum bahwa perihal terpenting tidak pada kecerdasan otak, tetapi pada bagaimana menyiasati hidup dirinya dalam nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Maka ada istilah di antara guru bahwa penguasaan materi adalah yang utama, tetapi pengertian kepada tiap murid-muridnya lebih utama.
Ironisnya, fase pelatihan di hampir semua sekolah menimbulkan rasa perih di hati para mahasiswa calon guru. Sangat jarang mahasiswa yang kebetulan ”berlatih di sekolah bersangkutan” kembali lagi ke sekolah tersebut sekadar untuk melepas rasa kangen kepada orang-orang yang ada di sekolah tersebut (murid, guru, staf, ataupun kepala sekolah). Umumnya para mahasiswa, seusai program PPL selama ± 4 bulan langsung ”menghitamkan” sekolah tempat ia berlatih itu untuk selama-lamanya.
Apa pasal? Ternyata banyak ”kesengajaan” Guru pamong istilah untuk guru yang mengasuh per mahasiswa di sekolah-sekolah¾ menggunakan kesempatan selagi membimbing yang melukai hati para mahasiswa. Cerita di awal tulisan ini hanya satu dari sekian kisahan lainnya. Ada banyak tindakan dari para guru/pihak sekolah yang ”ke-Belanda-Belanda-an” terhadap mahasiswa. Misalkan, ada guru yang menyuruh mahasiswa datang ke rumah si guru lalu disuruhnya mahasiswa mencuci pakaian si guru, setrika pakaian guru, dan mengerjakan tugas-tugas lainnya yang tidak ada benang-merahnya dengan pola hubungan guru pamong/sekolah dengan mahasiswa calon guru.
Bahkan ada guru pamong yang sudah sertifikasi, yang mengajar 24 jam per minggu, ketika si guru ”ketiban rezeki” karena ditunjuk pihak sekolah untuk membimbing si mahasiswa maka bagi dia adalah ”uroe raya rayek”. Coba kira, dari tahapan observasi sampai tahapan mengajar mandiri, si guru senantiasa menyuruh si mahasiswa mengajar, sementara dia sendiri ongkang-ongkang kaki di kantor, jarang sekolah, menghadiri pesta ini-pesta itulah alasan kepada si mahasiswa. Pokoknya, 4 bulan si guru itu mengambil gaji kepada pemerintah, sebenarnya itu adalah 4 bulan tetes keringat si mahasiswa. Luar biasa.
Di samping guru, persoalan lainnya timbul dari para siswa. Di sekolah-sekolah yang setiap semesternya menerima mahasiswa PPL (karena sudah terbiasa inilah), seakan sudah jadi tradisi para siswa tersebut mem-ploncoi dan tidak menghargai guru PPL. Tentunya bukan karena mereka disuruh mengetes oleh para guru atau pihak sekolah (jika pun ada ini hanya cerita lama). Jika pun ada para siswa kadang lebih suka yang mengajar mahasiswa, itu pun jika guru bidang studi yang bersangkutan telah dikategorikan ”guru killer” oleh mereka. Itulah mengapa mahasiswa yang masuk mengajar, para siswa biasanya lebih merasa santai, bahkan semua siswa telah sepakat untuk duduk tenang, (yang menandakan proses belajar-mengajar berhasil), padahal menyimak pun seperti terpaksa bagi mereka.
Terlalu banyak ”kisah aneh” jika saya tuliskan di sini berkenaan dengan mahasiswa PPL. Bagi ingatan saya yang juga turut terluka, dalam Matakuliah Pelaksanaan Pengalaman Lapangan sepertinya ada sesuatu harus ditambahkan ataupun untuk tidak dikatakan ada yang hilang. Saran saya kepada pihak FKIP/Tarbiyah, berikan penugasan-penugasan tambahan kepada mahasiswa yang memprogramkan matakuliah PPL. Di samping ditugaskan menulis laporan PPL dan menyusun perangkat pembelajaran sebagai tugas akhir selama 4 bulan ”berpura-pura” menjadi guru, mahasiswa juga diminta menuliskan refleksi yang berhubungan dengan para siswa, guru pamong, koordinator pamong, guru-guru dan staf sekolah, serta kepala sekolah dengan ”sejujur-jujurnya” (saya teringat reduplikasi ini kerap ditekankan Ketua Program Guru Bermutu Aceh yaitu Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd ketika saya memprogramkan Matakuliah Micro Teaching yang diasuh beliau). Intinya tulisan yang berunsur subyektifitas atau pengalaman pribadi si mahasiswa praktikan yang melibatkan rasa suka dan rasa dukanya. Sehingga ke depannya pihak FKIP/Tarbiyah dapat mengevaluasi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di lapangan dan kemudian dapat memperbaikinya.
Oya, saya yakin sekali, FKIP/Tarbiyah dapat menerbitkan satu buku ¾per semester atau setahun sekali¾ dari tulisan-tulisan refleksi mahasiswa PPL. Pasti akan jadi buku laris manis. Coba saja kita lihat daftar isi; ada yang judul kecilnya ”Bunga Anggrek untuk Bu Guru”, ”Cuci dan Setrika Pakaian Bu Guru sebagai Ibadah Lho”, ”Intruksi Hari Pertama PPL; Kalian Harus Gotong-royong Membersihkan Pekarangan Sekolah.” ”Bu, Pak, Ingatlah; Kami Bukan Babu”. Wah, saya kira buku yang berisi kumpulan tulisan suka-duka mahasiswa praktikan akan jadi buku best seller. Coba bayangkan segmen pasarnya; berapa orang guru di Aceh ini? Berapa orang guru Indonesia? Dunia?

NB. Belum pernah dipublikasikan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg