Tentang Mereka yang Telah Tiada




Oleh; Edi Miswar Mustafa

                Saya kerap membayangkan orang-orang yang telah tiada semasa konflik, khususnya mantan kombatan; apa yang mereka bicarakan di alam sana menjelang pemilu kedua yang akan digelar dengan ”demokrasi ala pancasila” seusai kesepakatan di Finlandia kira-kira hampir tujuh tahun yang lalu? Apakah mungkin, di alam sana, juga terdapat warung kopi dan meskipun tanpa fasilitas internet, mereka dapat mengakses kondisi Aceh saat ini dengan sepuasnya?
            Saya tidak tahu dengan pasti: itu jawabannya. Dan, saya harus melanjutkan kemungkinan-kemungkinan menurut pikiran saya sendiri. Saya rasa mereka akan berkata bahwa suatu wilayah harus ada pemimpin, tentu saja. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa menghargai rakyatnya sebagaimana arti bebas yang kita pahami, yakni kata: demokratis. Oleh karenanya, pemerintahan dibentuk agar keperluan rakyat dapat dilayani. Seseorang dari mereka menekankan: bahwa pemerintah sebenarnya dalam fungsinya yang ideal adalah pelayan rakyat. Lembaga-lembaga negara, baik di tingkat pusat, satu, ataupun di tingkat dua, hakikatnya dibentuk untuk kemaslahatan warga negara. Dan pemimpin yang kita pilih setiap lima tahun sekali adalah kepala pelayan dari lembaga yang umum orang namai eksekutif.
            Mungkin, mereka juga akan membandingkan presiden-presiden yang pernah memimpin Indonesia; almarhum Soekarno, almarhum Soeharto, dan beberapa presiden berikutnya: sudahkah mereka memenuhi kriteria sebagai kepala pelayan? Demikian juga dengan para gubernur di Aceh: beranikah menjawabnya di dalam pikiran masing-masing bahwa mereka telah bersikap sempurna dengan mengurus kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya.
            Mungkin juga setelah itu mereka akan membicarakan dua pasangan Cagub dan Cawagub dari dari orang-orang dahulunya seperjuangan dengan mereka demi ”Aceh yang berdaulat” di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Coba bayangkan kedua pasangan tersebut: yang diusung dari Partai Aceh dan dari jalur independen. Tapi, sekarang, mereka saling berlomba-lomba merayu dalam kampanye-kampanye lelucon.
            Terkadang seseorang dari mereka, yang dulunya pernah menjadi mahasiswa, teringat cerita seorang kawannya tentang temannya ketika masih menjadi mahasiswa. Teman sang kawan adalah ketua mahasiswa tingkat kecamatan. Setelah sekian lama menjabat maka kedengaran juga oleh ketua mahasiswa akan kritikan kiri-kanan dari teman-temannya. ”Han ek tapeuleumak mandum boh (labu)?”
            Semua maklum arah pembicaraan mahasiswa tadi: Irwandi yang hari ini menjadi kepala palayan? Apakah mungkin dia melayani semua orang jika semua orang itu ingin kaya-raya secepatnya, ingin menambah koleksi istri mereka dari berbagai suku di Indonesia, dan ingin dan ingin yang lain?
            Tentu tidak gampang adil yang seperti itu. Kalau pun seorang Irwandi harus membaca sekian buku, mungkin dia pun harus menyerahkan buku itu kembali kepada pengarangnya. Irwandi tak bakalan paham sampai seratus persen yang penulis maksudkan. Ya, mungkin seperti itulah kata-kata yang terucapkan olehnya. Kebingungan memakmurkan para pejuang di tengah proses pencitraan agar investasi dapat masuk, sektor swasta bisa berkembang, dan daerah dapat berkembang dan bersaing dengan daerah-daerah lain. Namun, hampir lima tahun berlalu, ternyata harapan dan kenyataan sangat jauh berbeda. Banyak yang kecewa dan mulai berpikir bahwa ketika kekuasaan ada di tangan maka para sahabat telah menjadi orang lain. Mungkin, telah menjadi musuh.
            Herannya ada yang tersenyum bak mentari pagi dan seseorang itu pun mulai angkat bicara. Tentu ada perbandingan-perbandingan keadaan sehingga rasa pesimis berubah drastis menjadi kekhawatiran. Proses demokrasi adalah proses paling menentukan dalam sejarah suatu bangsa. Di sana seluruh orang berhak menentukan pilihan sesuai dengan rekabayang masa depan yang diharapkan. Boleh saja orang-orang yang punya penciuman baik lalu menentukan cara memilih pemimpin berdasarkan apa yang terendus dan ini sungguh menggelikan saat membaca apa yang ditulis Makmur di Mila tempo hari di rubrik ”cang panah” Harian Aceh. Ataupun yang ditulis Nabhany AS mengenai sikap mendua yang dalam bahasa Aceh disebut bubee dua jap.
            Satu hal, bantah seorang yang lain, seakan merasakan nasib sial para sahabat yang masih hidup di dunia, lihatlah betapa banyak dari kita (yang masih hidup maksudnya) yang tidak mau berurusan dengan politik yang menghalalkan segala cara. Politik uang di negeri ini sudah tidak bisa ditelorir lagi. Ini memang zaman yang menganggap sesuatu yang haram seolah telah menjadi halal karena semua orang sudah tidak tahu di mana memutuskan apa yang harus putus. Kalaulah ular, kita bisa pilih bagian kepala untuk menebasnya. Kalaulah manusia, kita bisa menikam jantungnya agar dia langsung mati di tempat.
            Apakah ada artinya pesimis? Di antara mereka tidak merasa perlu untuk menemukan maksud di balik kata-kata pesimis. Karena kepercayaan kepada tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin, baik yang sekarang maupun yang dulu memang masih bergerak ke arah yang lebih baik. Setelah proses tersebut berlangsung dengan baik maka sesuatu yang mengesankan bahwa dia memang seseorang yang patut dikenang. Orang-orang besar yang mengubah keadaan menjadi lebih baik. Begitukah? Tapi sebaik apa? Apakah setelah kita bicara tentang perbedaan selama ini, pertentangan, peperangan, dan segala yang membuat air mata terus mengalir di pipi harus diakhiri dengan pemaafan?
            Banyak kemungkinan yang harus kita hadapi walaupun pahit. Di negara-negara Barat perubahan sosial telah berlangsung lama. Barangkali kita belum menemukan formula sosial yang tepat. Jika orang-orang barat punya rasionalitas sebagai pembabat semua kedunguan dan sekarang di sana pun rasionalitas telah menjadi Tuhan, kedigdayaan ekonomi yang melaju dengan kecepatan yang takkan pernah terkejar oleh negara-negara ketiga, percayalah bahwa semua itu tidak berarti membuat mereka lebih agung dari carut-marut yang kita hadapi.
            Barat yang beragama Katolik dan barat yang beragama Protestan itu berbeda. Barat yang berideologikan Katolik ―saya lebih tertarik untuk menyebutnya sebagai ideologi― cenderung sama dengan yang dihadapi orang-orang berideologi Islam. Pola pikir tertutup meskipun Alquran telah membicarakan ketidakbaikan pola pikir seperti itu. Sebagai contoh, berapa banyak orang yang memuliakan seseorang karena nasabnya?
            Di sisi lain, mungkin ini dari kaca mata orang-orang yang ”bertarung” dalam pesta demokrasi- masyarakat kita belum berada pada titik untuk layak disebut sebagai masyarakat yang mengerti tentang demokrasi. Banyak dari rakyat yang menginginkan proses demokrasi berjalan dengan idealis, tapi mereka sendiri tidak dapat disebut sebagai masyarakat idealis seperti bayangan mereka sendiri mengenai negera demokratis. Pendidikan tentang perihal tersebut telah lama disampaikan di ruang-ruang pendidikan formal dari jenjang terbawah sampai jenjang teratas. Sayangnya, sebagaimana hal-hal lain di negara-negara kita, kita cenderung banyak menilai daripada berbuat. Maka orang Aceh sungguh mengenal peribahasa ini: lagèe panyot cilet.
            Ironisnya, ”prasangka” negatif secara kolektif dari satu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lain lebih ”bersemi” dibandingkan ”prasangka” positif di tempat kita. Orang Pidie, bagi orang-orang selain Pidie adalah sekumpulan orang-orang pelit. Orang yang berdomisili di Aceh Selatan, bagi orang-orang non-Aceh Selatan, mereka umumnya memiliki jampi-jampi yang diwarisi dari moyang mereka maka pesan orangtua-orangtua kepada anaknya kalau berjumpa mereka (khususnya di Banda Aceh) wahai anakku... berhati-hatilah.
            Dalam bukunya ”Rekayasa Sosial”, Jalaluddin Rakhmat menguraikan bahwa ini adalah satu dari sekian kerancuan berpikir yang dimiliki oleh umat Islam.
             
NB. Belum pernah dipublikasikan
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg