Postingan

Manohara

Oleh: Edi Miswar Mustafa Di sebuah angkutan antarkota dalam provinsi, aku ribut dengan seorang pak tua. Dia cerita sama teman sebangkunya bahwa Pantai Manohara dan Pantai Kuthang di Pidie Jaya ada kaitannya. Manohara, yang artis KDRT* itu, pernah mandi di salah satu pantai Meureudu, tapi kutangnya hanyut sampai Trienggadeng. Bapak yang saya muliakan, potong saya, sebenarnya asal muasal nama pantai itu bukan seperti yang bapak sampaikan. Dia malah tersenyum senang demi mendengar bantahanku dari arah belakangnya. Coba versi adik, ujarnya. Kami ingin mendengarnya. Ya, kan? Tambahnya seraya mencari dukungan beberapa penumpang lain. Yang lain terlihat senyum-senyum. Mungkin agak segan jika mendukung secara langsung. Baik. Akan saya ceritakan kepada bapak dan ibu sekalian, biar tidak ada lagi versi aneh seperti yang pak tua sampaikan tadi. Manohara sesungguhnya berasal dari nama seorang gadis yang beranjak remaja. Ia biasa dipanggil Hara. Dikisahkan dari mulut ke mulut di kampung kam

Impian dan Produk yang Dihasilkan

Saya sering membayangkan diri telah berhasil menulis novel. Nyatanya kemudian saya sadari itu hanya lamunan. Dan entah bagaimana, lamunan itu terus saja berulang dan membuat hati senang. Tapi kemudian saya sadari, saya belum pernah menulis novel. Satu pun belum. Beberapa waktu yang lalu sengaja saya beli satu-dua novel yang saya gandrungi ketika saya remaja. Saya paham, novel-novel itu tak sanggup lagi saya baca. Tapi saya beli juga. Saya berharap dapat belajar sesuatu yang kini saya anggap sederhana sebelum mencoba menulis (novel) yang sulit. Dari sana, saya dapat memang rancang bangun bagaimana Mira W, misalnya, menulis novel. Pertama-tama, mungkin, menentukan satu ide. Kemudian membuat sinopsis. Lalu memasang-masang sejumlah tokoh dalam novel. Menulis biografi para tokoh (sampai ke mikes dan makes si tokoh). Lalu merancang bab, menulis sinopsis per bab. Nah, yang terakhir menulis draf novel. Apakah novelis kawakan juga melakukannya seperti itu? AS Laksana pernah bertanya kepada P

Kritik Sastra di Antara Kita

Oleh: Edi Miswar Mustafa Kritik sastra adalah barang langka di Indonesia. Hanya beberapa nama saja yang pernah dikenal. Pertama tentu saja H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, Arif Budiman, dan yang paling tenar ialah Goenawan Mohamad. Mungkin pantasnya bukan kata tenar, tapi tak lengkap kalau tidak menyebut GM. Sementara di Aceh? Adakah yang berani unjuk tangan mengaku diri seorang kritikus sastra? Tentang langka, banyak jadi pertanyaan, salah sekiannya adalah perlukah kita persoalkan perihal kelangkaan itu? Menurut saya perlu sekali. Katrin Bandel, pada hari pembukaan Museum Tsunami -- entah seminar apa: dihadiri sejumlah sastrawan seluruh nusantara -- bahwa di Jerman, untuk satu orang kritikus sastra bertugas mengkritik karya tiga orang sastrawan. Bayangkan di Indonesia, mungkin ada ratusan sastrawan yang bahkan tak pernah sekalipun diulas karyanya. Jerman tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia. Mereka sudah memiliki sejarah beraksara yang terbilang lama dibandingka

Menulis Resensi

Bingung juga mengajarkan anak-anak menulis resensi. Sedang bingung-bingungnya mikir teknik mengajar resensi, tiba-tiba dapat ide mengganti objek resensi dari buku/film jadi cuma satu lagu. Soalnya kalau membaca satu buku tapi empat orang tentu tidak masuk akal, kecuali sekolah punya 5 lima buku judulnya sama per kelompok. Kalau film, koleksi film yang saya punya sepertinya agak 'kedewasaan' buat mereka yang masih kelas dua SMA. Oleh karena itulah saya pilih objek lagu saja. Tapi syaratnya lagu yang dipilih mesti yang kental narasi artinya ada cerita dalam lagu tersebut -- memang hampir semua lagu dicipta karena suatu peristiwa/kenangan ditambahi perasaan dari hati terdalam. Selanjutnya ada pertanyaan di buku paket yang saya ubah redaksi kalimatnya. Misal, jika pertanyaan di buku paket tercantum kata 'buku' maka saya ubah jadi 'lagu'. Ini lengkapnya pertanyaan yang dipermak: 1. Topik apakah yang dibahas pada buku (lagu) yang kaliam resensi? 2. Uraikanlah masal

Sang Pangeran

mereka memanggilnya Sang Pangeran tapi dia bukan perempuan ia seorang muda yang pesolek dan jadi tetua bagi pemuda suatu siang seseorang memungut kabar tentangnya yang diolok lonte sungguh celaka dua belas kas pemuda ditilep proposal demi proposal kas pemuda lagi-lagi ditilep ketika korupnya ketahuan kabinet mondar-mondirlah ia ke pacar maknya ujung-ujungnya, "Duit yang dipinjamin Sang Sultan juga dipinjamin sama Sang Pangeran." semua pemuda tertawa dan kabinet pun turun tahta. 12 Agustus 2015

Tentang Pelamaran

Tuhan . . . Aku ingin kabari ini pada-Mu Tapi kuharap sangat Engkau jangan marah, ya Begini Tuhan Ada seorang gadis baik yang baru dapat kudekati Dulu, kami cuma kenal biasa aja, gitu Aku tertarik Terutama dengan sikapnya Kupikir, aku memang telah jatuh cinta Lalu, aku bilang padanya "Mau gak jadi istriku?" Tuhan . . . Engkau jangan marah, ya Lagipula dia belum jawab pertanyaanku! Flamboyan, 30 September 2012

Permata yang Hilang

Aku bangun dari tempat tidurku Kutengok jam dinding Jarum jam menunjuk pukul 02.17 dini hari Kuhidupkan laptop Beberapa fotomu, yang kuunduh siang tadi di warung kopi, yang bertebaran di facebook teman dekatmu, telah kukumpulkan dalam satu folder Satu per satu kutatapi wajahmu yang tersenyum bahagia Pipimu yang agak tembem kubelai perlahan Lalu wajahku kudekatkan ke layar laptop Kucium bibirmu Kamu dalam balutan pakaian tradisional, entah dari daerah mana, masih saja tersenyum Seakan bersukacita kuciumi 6 Maret 2012