Manohara

Oleh: Edi Miswar Mustafa

Di sebuah angkutan antarkota dalam provinsi, aku ribut dengan seorang pak tua. Dia cerita sama teman sebangkunya bahwa Pantai Manohara dan Pantai Kuthang di Pidie Jaya ada kaitannya. Manohara, yang artis KDRT* itu, pernah mandi di salah satu pantai Meureudu, tapi kutangnya hanyut sampai Trienggadeng.

Bapak yang saya muliakan, potong saya, sebenarnya asal muasal nama pantai itu bukan seperti yang bapak sampaikan.

Dia malah tersenyum senang demi mendengar bantahanku dari arah belakangnya.

Coba versi adik, ujarnya. Kami ingin mendengarnya. Ya, kan? Tambahnya seraya mencari dukungan beberapa penumpang lain.

Yang lain terlihat senyum-senyum. Mungkin agak segan jika mendukung secara langsung.
Baik. Akan saya ceritakan kepada bapak dan ibu sekalian, biar tidak ada lagi versi aneh seperti yang pak tua sampaikan tadi.

Manohara sesungguhnya berasal dari nama seorang gadis yang beranjak remaja. Ia biasa dipanggil Hara.

Dikisahkan dari mulut ke mulut di kampung kami, Hara yang berayah India itu tumbuh cantik bak bunga kembang sepatu. Kulitnya tak terlalu putih, tapi bola matanya yang hitam bagai arang sesaat setelah api padam. Apalagi dibingkai oleh alisnya yang seperti gegaris pensil. Kau pasti akan terpesona.
Meskipun demikian ia bukan seperti anak-anak remaja di zaman sekarang yang lebih senang melihat orangtuanya membanting tulang ketimbang menolong mereka mengerjakan apa saja. Hara tidak begitu. Hara kerap membantu jika sang ayah pergi melaut. Menolong memperbaiki jaring sang ayah, mencuci sampan ayahnya selepas ayahnya pulang dari laut, dan lainnya. Jika sang ibu pergi ke sawah, ia pun ikut. Pendek kata, orangtuanya amat berbangga memiliki anak yang tidak hanya cantik, akan tetapi juga rajin itu.
Kebetulan pula Allah tidak memberikan kepada pasangan suami-istri tersebut dua amanah, yakni dua anak. Tapi hanya semata Hara jua anak mereka. Maka betapa berlimpahlah kasih mereka kepadanya.

Ke mana pun ayahnya pergi, Hara selalu dipujinya. Begitu pun dengan ibunya, Hara senantiasa menjadi buah bibirnya. Sehingga lambat-laun orang pun mulai berubah tak suka. Hara selalu menjadi tolok ukur gadis remaja di kampung itu dalam soal kecantikan dan kebaikan.

Saat Belanda menyerbu Banda Aceh dan keluarga kerajaan dievakuasi ke pedalaman Pidie (tepatnya di Keumala Dalam -- sekarang termasuk kecamatan Keumala), seorang keturunan Arab ikut melarikan diri dari Banda Aceh. Ia ahli pengobatan. Pandai ilmu agama dan masih keturunan Quraisy, puak Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wassalam  Meskipun ada desas-desus bahwa dulunya di Kampung Pande, dalam komunitas Arab di sana, ia disangsikan memiliki garis keturunan Habib.

Tapi melihat sorbannya, hidungnya yang bengkok, dan jenggotnya yang nyaris sampai perut, orang-orang kampung kami pun memanggilnya Syekh Habib Abdurrahman Al-Ghafir.

Dasar lelaki separuh baya itu pandai membawa diri, semua anugerah baginya itu ia pergunakan sebaik-baiknya. Sehingga di kampung kami, jika bukan Habib yang mengimami shalat, maka terasa ada yang kurang dalam pelaksanaan shalat.
Apalagi setelah ia membuka balai pengobatan. Berbagai kalangan datang ke tempatnya. Bahkan sumur di depan balai pengobatannya sampai kering diambil para pencari ridha Allah melalui qaramahnya Habib Abdurrahman Al-Ghafir.

Dalam kesempurnaannya itu, sang Habib selalu terkenang-kenang pada remaja Hara, anak tetangganya. Meskipun semua tahu Siti Aisyah masih sangat kecil saat dipersunting Rasulullah, tapi atas nasib dirinya, sang Habib khawatir jika harus mengikuti apa yang telah dilakukan Nabi. Konon lagi umurnya yang tak lagi muda. Akhirnya ia mengambil keputusan membuat Hara tergila-gila kepadanya.

Tepat menjelang Subuh, Hara terbangun di kamarnya. Dadanya berdetak keras. Napas memburu. Kemudian Hara pun jatuh pingsan. Hara sempat memekik sebelum terkulai sehingga ibunya memburunya ke kamar. Dan demi melihat anaknya tak sadarkan diri di atas lantai, sang ibu berteriak-teriak memanggil suaminya.

Ayah Hara masuk ke kamar Hara dengan terkejut. Dipegangnya dahi dan lengan anaknya. Ia tahu anaknya masih hidup. Ia sampaikan maksudnya ke istri agar mereka membawa Hara ke Balai Pengobatan Habib.

Di depan Habib Abdurrahman, napas Hara keluar masuk dengan teratur. Habib berkomit-kamit sekitar lima belas menit seraya memegang beberapa bagian tubuh Hara. Selepas itu, Hara terbangun bak terbangun dari tidur.

Digenggamnya tangan Habib, lalu diciumnya, karena begitulah diminta ibunya. Sementara Hara sendiri benar-benar heran bagaimana ia bisa di Balai Pengobatan Habib. Ayah dan ibunya bercerita, barulah kemudian Hara tahu apa yang terjadi.

Kejadian tersebut terus berulang terjadi. Habib sendiri mulai patah semangat. Keinginannya agar Hara bisa menyukainya sebagai seorang perempuan menyukai laki-laki yang normal lainnya, mulai gundah-gulana ia pikirkan. Apa sebabnya? Padahal mantra dan ramuan perebut sukma sudah ia lekatkan berulang kali di tubuh Hara.

Karena seringnya Hara jatuh pingsan tanpa sebab apapun. Dan rupa-rupanya, menurut orangtuanya, kejadian aneh tersebut tentu sudah tak sanggup lagi ditangani Sang Habib. Maka kedua orangtua itu membawa anaknya ke Samalanga. Seorang ahli pengobatan yang dulu tenar sebelum Habib datang ke Meureudu, bermukim di sana.
Pembaca mungkin bisa menebak apa yang terjadi. Ya, benar. Betapa marahnya kedua orangtua itu mendengar penjelasan Sang Tabib bahwa Habib tetangganya telah mengguna-gunai anaknya dengan mantra pengasih agar gadis remaja itu menerima Si Arab  sebagai suaminya.

Tapi kedua orangtua tersebut kemudian sadar. Kini Habib seorang tokoh di kampungnya. Menuduhnya telah melakukan praktik perdukunan, tentu tak akan diterima masyarakat kampungnya. Apalagi dengan tuduhan mantra pengasih agar anaknya mencintai Sang Habib. Ah, salah-salah keduanya ibarat parang menetak tuan sendiri. Malah akan dituduhkan pula bahwa merekalah sesungguhnya yang menginginkan bermenantu Habib.

Maka mereka pun diam saja. Tidak melabrak sang Habib. Mereka menjalankan anjuran Tabib Samalanga agar Hara selalu mandi dini hari. Tepatnya sebelum ayam berkokok, Hara segera masuk ke dalam laut di depan rumahnya. Insya Allah jika dilakukan selama 333 hari, kata Tabib Samalanga, Hara akan sembuh seperti sediakala.
Begitulah. Setiap dini hari, ibu dan ayahnya membangunkan Hara dan berkata, "Mandilah Hara."

Bayangkan betapa dinginnya udara di pagi dini hari. Hara menggigil hingga gemeletuk gigi. Kedua orangtuanya terus berkata setiap pagi. Bahkan hingga ia sampai di tepi sungai Meureudu yang kadangkala keruh bila musim hujan tiba. "Mandilah Hara. Mandilah Hara. Mandilah Hara."

Perkataan kedua orangtua gadis itulah yang kemudian menjadi Pantai Manohara. Sebab jika dialihkan ke bahasa Aceh maka berbunyi: ka mano Hara*.
"Ajaib. Saya sudah setua ini, belum pernah mendengar legenda tersebut?" tiba-tiba Pak Tua di depanku bersuara. Lalu tambahnya, "Tak mungkin. Adik pasti mengarang-ngarang."

Kesal juga aku disebut adik. Lebih pantasnya aku disebut anak. Sementara angin terdengar berkesiur melalui celah jendela kaca. Seolah mengiyakan sanggahan Pak Tua. Sedangkan para penumpang lain tanpa reaksi.

Di depan, sebuah tikungan. Beberapa wajah caleg tersenyum palsu dalam baliho warna-warni.

"Kisah itu bukanlah karangan saya, Pak Tua. Hanya saja kami orang-orang Meureudu enggan menceritakannya." Nada suaraku terdengar dalam. Terdengar seperti orang menahan marah.

Di depanku Pak Tua tampak 'nyengir tersenyum mengejek. Sementara si sopir baru saja berbicara via telepon dengan pengemudi lain perihal jumlah penumpang di angkutan masing-masing.

"Bolehkah saya ceritakan sama Bapak, kenapa kami enggan menceritakannya?" tahu-tahu aku bersuara.

"Ya . . . ya . . . silakan," sergah Pak Tua dengan senyum dikulum.

"Begini Pak Tua. Pertama, kami tak ingin menyinggung para Habib dan Said di seluruh dunia. Kedua, karena kisah itu beredar dari mulut ke mulut, kemungkinan salah, besar sekali peluangnya. Alasan pertama, secara global, orang-orang Islam seluruh dunia percaya bahwa garis keturunan Habib dan Said adalah garis keturunan mulia. Meskipun di kisah itu sang Habib diragukan berasal dari keturunan yang mulia tersebut. Ketiga, apa yang disampaikan Tabib Samalanga itu pun belum tentu benar. Mengapa? Karena Samalanga, di samping dikenal pusat keilmuan Islam di Aceh. Orang-orang Samalanga dulu juga dikenal memiliki kepercayaan mistis yang tinggi. Di sana dari dulu memang banyak para ulama, tapi para ahli sihir juga banyak. Nah, alasan ketiga ini juga jadi pertimbangan kami orang-orang Meureudu. Ketika kami harus menceritakan muasal nama Manohara, sekaligus kami harus cerita mengenai Samalanga. Dan kami tak ingin membuat orang-orang Samalanga tersinggung."
Kulihat Pak Tua itu manggut-manggut. Beberapa penumpang malah sesekali memutar lehernya untuk melihat wajahku supaya jelas untuk lebih dikenal. Kusampaikan alasan itu dengan sikap sesederhana mungkin. Dengan bahasa sesendu lagu-lagu Nia Daniaty. Dan hasilnya. Aku puas. Bola mata pak tua seakan lebih bulat dari sebelumnya.

"Baiklah. Saya ceritakan apa yang saya ketahui," ujar Pak Tua.

Di muka, dua ekor kambing berebut saling ingin menyeberang. Dari arah berlawanan, dua orang ibu-ibu di atas motornya kelihatan mengerem sebisanya. Tampak mulut mereka mengata-ngatai kambing yang tentu saja tak merasa bersalah.

"Di Jakarta, seorang teman yang dekat dengan beberapa artis, mengatakan bahwa Manohara pernah datang ke Aceh tanpa diketahui publik." Aku kaget. Pak tua ini kelihatan macam orang kampung biasa. Rupanya tahu Jakarta. Kemungkinan pun pernah tinggal di sana.

"Ketika itu, Manohara baru saja berpisah dengan Pangeran Kelantan. Dia datang ke Aceh, lebih tepatnya Meureudu, ingin bertemu dengan seorang laki-laki yang dicintainya. Laki-laki itu kabarnya tinggi, putih, rambut agak pirang, dan berhidung mancung. Mereka akhirnya berjumpa. Mereka bertemu seperti layaknya para sahabat, bukan sebagai kekasih. Sebab, meskipun laki-laki itu pernah tinggal di Jakarta, tapi ia masih laki-laki Islam yang baik. Lalu entah bagaimana, orang-orang pun tahu bahwa Manohara pernah tinggal beberapa saat di Meureudu. Orang-orang juga tahu kalau laki-laki itu dan Manohara sering berdua menyusuri pantai setiap sore. Nah, dari sanalah pantai itu berubah nama menjadi Manohara. Ketika orang-orang bertanya: Pantai yang pernah disinggahi Manohara, ya? Kemudian berubah pendek lagi: Pantai Manohara, ya?"

Seperti penamaan Meureudu. Meureudu berasal dari kata 'Meurah Du' yang artinya gajah duduk atau gajah singgah memang semasa Iskandar Muda bersama laskarnya memperluas wilayah sampai ke Pasai dan bahkan ke Aru. Tapi cerita Pak Tua ini terasa agak mengada-ngada. Dan, saya yakin, ia sudah selesai dengan cerita muasal nama Pantai Manohara. Aku lantas bertanya?

"Kalau Pantai Kuthang, kata Bapak karena kutang Manohara hanyut ke Trienggadeng, itu gimana, Pak?" tanya salah seorang penumpang.
Pak Tua tersenyum. Ia kelihatan senang mendengar ada yang mau bertanya lebih lanjut.

"Kisah ini saya dengar di Jakarta juga. Tapi sudahlah. Saya tak ingin menceritakannya kembali. Tentu kisah yang pernah saya dengar itu salah. Tak mungkin ada benda seperti kutang, bisa hanyut dari Meureudu hingga Trienggadeng. Sampai-sampai jaraknya lima belas kilometer."

Kurasai Pak Tua itu agak kelihatan khawatir dengan gaya bicaraku yang khas Meureudu: mata hu su meutaga (mata merah menyala, suara lantang). Harusnya memang begitulah jadi orangtua. Jangan menyebar fitnah, batinku.

"Pak Tua, setahu saya bukan begitu ceritanya."

"Ya. Ya. Coba silakan versi adik."
Kali ini aku tertawa lucu karena dipanggil adik lagi.

"Dulu, ada seorang ayah yang melarang anak-anaknya mandi di pantai. Alasannya, karena pantai itu pernah jadi tempat eksekusi para hulubalang dan para pengikutnya paska November tahun 45. Lelaki itu pelo. Kalau ia mau mengatakan wallahu 'alam, terdengar sama kita bunyinya 'walak-walak'. Nah, sama anak-anaknya dia bilang: bek kajak u pasi beh (jangan pergi ke pantai, ya). Kutham beh (saya larang, ya). Tapi kata ''kutham' ini yang berarti 'kularang', ia sebut 'kuthang' membuat orang-orang tertawa mendengarnya. Itulah kemudian mengapa  pantai tersebut bernama Pantai Kuthang."

* * *
Dua minggu lalu, seorang teman datang berkunjung ke rumah. Dia cerita mengenai perdebatannya dengan seorang bapak tua di angkutan dalam perjalanan dari Banda Aceh menuju Medan. Dalam temu-kangen dengan sahabat lama itu kuceritakan pada temanku mengapa Pantai Manohara diganti menjadi Pantai Meurah Setia. Niat bupati pertama Pidie Jaya itu baik. Agar nama pantai itu tetap dalam bahasa Aceh dan lebih bermartabat tinimbang Manohara yang notabene nama artis KDRT. Meurah Setia sendiri pun berarti gajah yang setia.
Begitulah. Karena kuanggap menarik, maka kutulislah untuk kalian kisah ini.

KDRT                : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ka mano hara   : mandilah Hara.

Edi Miswar Mustafa: Guru Bahasa Indonesia di SMAN Unggul Pidie Jaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Soliloqui Seorang Caleg