Kritik Sastra di Antara Kita

Oleh: Edi Miswar Mustafa

Kritik sastra adalah barang langka di Indonesia. Hanya beberapa nama saja yang pernah dikenal. Pertama tentu saja H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, Arif Budiman, dan yang paling tenar ialah Goenawan Mohamad. Mungkin pantasnya bukan kata tenar, tapi tak lengkap kalau tidak menyebut GM. Sementara di Aceh? Adakah yang berani unjuk tangan mengaku diri seorang kritikus sastra?

Tentang langka, banyak jadi pertanyaan, salah sekiannya adalah perlukah kita persoalkan perihal kelangkaan itu? Menurut saya perlu sekali. Katrin Bandel, pada hari pembukaan Museum Tsunami -- entah seminar apa: dihadiri sejumlah sastrawan seluruh nusantara -- bahwa di Jerman, untuk satu orang kritikus sastra bertugas mengkritik karya tiga orang sastrawan. Bayangkan di Indonesia, mungkin ada ratusan sastrawan yang bahkan tak pernah sekalipun diulas karyanya.

Jerman tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia. Mereka sudah memiliki sejarah beraksara yang terbilang lama dibandingkan Indonesia. Itu benar. Tak ada keinginan saya membantahnya. Saya justru melihat perbandingan itu sebagai realitas yang jelas dan langsung terlihat oleh kedua mata kita orang Indonesia. Lagipula argumen tersebut jika hendak disanggah perlu pengetahuan tentang sejarah sastra Jerman. Sayang sekali saya hanya tahu sejarah sastra negeri sendiri. Oleh karenanya, haram hukumnya meminta saya menganalisis argumen di atas.

Kembali ke soal kelangkaan, patut kita mengajukan tanya: mengapa? Saya jadi ingat satu esai sastra (lupa saya, entah siapa yang menulis), yang membahas novel Indonesia: singkat kata, dalam ulasan tersebut dikatakan bahwa banyak novel Indonesia yang tidak memiliki konflik fisik antartokoh dalam karya sesungguhnya cerminan dalam alam bawah sadar si pengarang yang lahir dan hidup dalam budaya nusantara: budaya orang-orang yang menghindari konflik.

Nah, besar kemungkinan langkanya kritik sastra Indonesia dikarenakan filosofi hidup bangsa ini. Orang Indonesia umumnya ikhlas diinjak asalkan si penginjak cepat sadar telah menginjak kaki orang lain, meski saat memindahkan kakinya tidak mengucapkan kata 'maaf' sekali pun.

Pengalaman saya, yang belum banyak makan asam dan garam ini, saya menemukan banyak novel Indonesia yang seakan-akan tidak menghadirkan konflik sama sekali. Baru-baru ini saya mengatamkan novel 'Kambing dan Hujan' karya Mahfudz Ikhwan -- juara pertama sayembara penulisan novel DKJ 2014. Ditulis di kover roman memang. Sebab tokoh utama yang diceritakan dalam prosa tersebut dikisahkan dari lahir sampai meninggal dunia.

Begini kisahnya. Sepasang muda-mudi sekampung, yang sebelumnya tak saling kenal di kampung, kemudian saling mengenal secara kebetulan di kota si pemudi kuliah. Lalu mereka saling jatuh hati dan berikrar sama-sama cinta. Ironisnya, belakangan mereka baru tahu bahwa bapak-bapak mereka adalah tokoh yang model beribadat mereka tak sama. Padahal sebelum dewasa, kedua bapak itu adalah kawan karib. Tapi jelang berkelurga, keduanya terpisah jauh atas nama NU dan Muhammadiah.

Konflik kedua tokoh dimunculkan secara analitik; lewat cerita sang narator yang berganti-ganti. Konflik yang disuguhkan seperti balas-membalas ejekan. Di satu pihak menyalahkan tidak berqunut saat shalat subuh. Di pihak yang diejek dibalas dengan lawak tak ada ushalli saat takbiratul ihram. Dan beberapa lainnya yang mengingatkan saya pada ejekan serupa di kampung saya atas satu golongan kepada golongan lain.

Hanya macam itulah. Konflik terhalang hijab alias konflik kelompok yang terbangun karena faktor ideologi. Entah inilah yang disebut konflik alam alias bermusuhan dengan alam. Tapi alam yang mana? Konflik antargolongan barangkali lebih tepat.

Turun dari Tugu Lapangan Sepakbola Kopelma

Konflik. Itu kata kuncinya. Ada rasa enggan untuk tidak meyakiti orang lain. Tak dapat dipungkiri, kekeliruan mengkritik suatu karya adalah halangan terkesal buat kita. Di sisi yang kanan kita ingin menciptakan suasana kompetitif antarrekan dalam berkarya. Namun, di sisi kiri jalan, kritik dalam kebudayaan kita salah-salah malah menjerumuskan semangat mereka yang mencintai sastra untuk mengucapkan sayonara selepas baca koran.

Pernah saya melempar keinginan ini ke pangkuan ustad-ustad sastra di kampus Jantung Hati Rakyat Aceh. Herman RN malah menganjurkan saya untuk menulis sepukul dua pukul mengenai kritik sastra. Maksudnya saya mengawali lebih dulu. Mengapa harus saya lebih dulu? Sepertinya tak saya tanyakan lagi pertanyaan itu padanya. Dosen senior pujaan saya dulu juga berkata lebih kurang sama dengan dengan sastrawan nasional yang namanya sudah saya sebutkan di atas. Tapi para dosen sastra lainnya di almamater saya seperti Muhammad Harun, Rajab Bachri, dan Wildan (tinggal menunggu waktu berpredikat profesor) tak berani saya ajak berbagi ilmu dan mungkin semangat untuk kita yang muda-muda. Segan, iya. Namun lebih ke rasa khawatir bila dianggap kurang ajar karena ajakan itu dari saya dapat saja ditafsirkan ibarat menggarami laut.

Bisa jadi yang mereka rencanakan bukanya menulis beberapa lembar alias sepukul dua pukul, tapi ratusan lembar yang langsung siap cetak jadi buku dengan ISSN atau ISBN di bagian belakang kover.

Lalu, apa salahnya ditulis dalam format esai lebih dulu, baru kemudian dibukukan? "Tergantung Pada Kata" karya A. Teeuw dan Iqnas Kleden "Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan" saya rasa dapat dijadikan contoh terbaik. Buku tersebut sebenarnya adalah kumpulan tulisan lepas.

Tentu menyenangkan tiap hambir saban minggu menunggu ulasan Aliran Darussalam (penamaan ini adopsi dari Aliran Rawamangun --Rawamangun kampus UI dulunya berada-- di tingkat Nasional) Muhammad Harun menulis kritik puisi, setelah sekian esai, lantas dibukukan. Wildan menulis kritik cerpen, lalu kemudian dibukukan. Budi Arianto, kritik drama, selanjutnya dibukukan. Mukhlis A. Hamid, teori-teori kritik sastra. Jujur, menulis imajinasi ini pun hati saya telah berubah bak kebun yang dipenuhi ratusan jenis tanaman hiasan yang sedang berbunga-bunga: saking bahagianya.

Nama-nama kritikus pada paragraf pertama di atas umumnya para dosen sastra di Indonesia. Mereka banyak menulis kritik sastra dan mereka disebut Aliran Rawamangun. Sementara para kritikus di luar kampus dikenal Aliran Ganzheit.

Seandainya imajinasi saya ini dalam tahun-tahun yang akan datang bukan hanya sekadar satu ilusi, tentu kelangkaan kritik sastra tinggal kenangan semata. Bilakah itu? Yang pertama adalah kritik sastra di antara kita mudah-mudahan saja bermula.

Rungkom, 16 Februari 2016

Edi Miswar Mustafa: seorang guru di Pidie Jaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg