Postingan

Karya Sastra yang Maha

Oleh : Edi Miswar Mustaf a Dalam kesusastraan tidak ada yang nomor satu. Karena karya Yang Maha itu memiliki kelebihan dan kekurangan yang khas. Maha besar-nya sebuah karya hanyalah keterpaksaan pengklasifikasian. Ada karya-karya yang dianggap kurang berarti, ada karya-karya yang bernilai sedang saja, dan memang ada karya yang pantas disebut besar. Namun,   setiap karya yang pantas disebut karya besar harus memiliki beberapa nilai yang menjadi ciri dari kebesarannya. Ciri yang pertama ialah sebuah karya yang besar harus mengandung kebenaran dan kejujuran. Kemudian ciri yang kedua ialah dapat memunculkan persoalan kemanusiaan yang tidak mengenal teritorial apakah itu persoalan dunia timur atau persoalan dunia barat. Sebab, karya sastra adalah milik dunia, kekayaan khazanah kebudayaan manusia. Ciri yang ketiga adalah bentuk teknik penyajian dan isinya yang baik: apakah gaya penceritaan, karakter tokoh, jalinan cerita, sehingga ketika karya tersebut usai dibaca mampu meninggalk

Soliloqui Seorang Caleg

Gambar
Oleh Edi Miswar Mustafa SAYA teringat Azhar Peureulak yang pernah menulis; Seandainya Saya Gubernur Aceh. Tetapi sekarang, entah ke mana orang ini. Saya menduga, ia sudah diperingatkan, maka tak berani lagi menulis-boleh jadi tulisannya yang pedas membuat sigubernur asli terusik. Maka sekarang saya iseng, dan berkhayal satu frasa; “seandainya saya seorang caleg”. Seandainya saja begitu, saya tak di sini, duduk menjuntai kedua kaki seraya memandangi para mahasiswi yang berbedak, bercelak dan berdandan rapi melintas di jalan. Saya membayangkan sebagai calon anggota dewan, pada saat ini saya sedang membaca beragam sarkasme dari sejumlah penulis karena ‘kata-kata mutiara’ yang tertera di foto-fotonya. Dan, saya tidak pernah sempat menerka akan serunyam ini. Padahal, ketika menuliskan kata-kata ajaib itu, pertimbangan-pertimbangan mereka pastilah telah amat matang. Pertama, kata-kata itu haruslah selaras dengan visi partai yang memayunginya. Kedua, antara caleg separtai diusahak

Aceh di Balik Kacamata Rayben Urang Sunda

Oleh; Edi Miswar Mustafa Sebulan, setelah tenda darurat 800-an pengungsi musibah tsunami berdiri, tiba-tiba seorang nenek, dua orang cucu, dan seorang perempuan yang diaku sebagai menantu si nenek datang ke titik pengungsian di Mesjid Kopelma Darussalam, Banda Aceh. Mereka mengaku korban tsunami. Tapi, empat tahun usai ‘air raya kh’op ’ itu mereka masih tinggal di pengungsian di bantaran krueng Aceh. Mereka menanti janji bantuan rumah di kawasan Ladong, Aceh Besar. Potret kehidupan orang Aceh yang ditulis secara antropologis oleh Arif dalam buku ini adalah salah satunya dari sekian yang lain yang terbaca oleh saya. Bukan hanya karena Nek Salbiyah sekampung dengan saya. Sesuatu yang berseberang dalam satu ihwal dan membuhul menjadi satu dan sering terkata sebagai ironisma itulah yang mengundang decak yang diam. Sama halnya ketika dalam tulisan lainnya penulis memburaikan kepiluan seorang anak negeri kepada dua bapak bangsa yang dikhianati dan berusaha dilupakan Indonesia;

Guru PPL Bukan Babu

Oleh; Edi Miswar   Mustafa Seorang Bu Guru, pada salah satu SMP di Banda Aceh, meminta mahasiswa yang dipamonginya membeli dan mengantarkannya satu pot bunga anggrek ke rumah (tak lupa Bu Guru juga menyebutkan nama jenis anggrek idamannya). Si mahasiswa tak dapat menolak, ia harus patuh jika ingin lulus matakuliah Praktik Pengalaman Lapangan bobot 4 SKS  atau lazim disebut PPL. Sesampainya di tempat penjualan bunga/tanaman hias, si mahasiswa nyaris menangis saat mendengar sang penjual bunga menyebut harga anggrek jenis yang diinginkan si ibu guru; tak kurang dari tiga ratusan ribu. Bayangkan, si mahasiswa hanya dapat kiriman per bulan Rp 300 ribu dari orangtuanya yang bermata pencaharian sebagai petani nun jauh di Aceh Barat sana. Jujur, tulisan ini saya tulis tidak dengan maksud untuk menyepelekan harga asuhan atau didikan yang telah diterima seorang mahasiswa yang telah berpraktik di sejumlah sekolah. Sebagai seorang mahasiswa yang pernah mengikuti program matakuliah te

Koran dan Kekayaan Kata-kata Sastrawan

Oleh: Edi Miswar Mustafa Dalam tulisan saya sebelumnya, sastra; yang bagaimana? ( Serambi , 19 Oktober 2008), saya menulis – tidak cuma pada pementingan kepintaran berbahasa si cerpenis . Kemudian pada alenia berikutnya;   Mengukuhi gaya bahasa puitis nan murah kata adalah yang sastra sementara gaya hemat kata, bukan sastra, mungkin, sungguh tak berdasar. Karena suatu karya yang wahid ditentukan oleh kepaduan bentuk dan pada isi yang serasi. Begitulah, karena beberapa kalimat ini sekian pesan masuk mempertanyakan. Tentunya begitu kontradiktif dengan julukan sastrawan yang dihaturkan pada mereka. Masa iya sastrawan punya kata-kata sedikit amat? Katakanlah ini disebut apresiasi sastra dan mengutip kata-kata Pramoedya Ananta Toer, karya-karyanya adalah anak-anak nuraninya - biarkan ia bebas menghirup udara dunia - maka dunialah yang menentukan nasibnya. Karya itu ada yang besar namun juga banyak yang remeh temeh dan hal itu tergantung sisi pragmatisma, sisi pembacanya y