Aceh di Balik Kacamata Rayben Urang Sunda



Oleh; Edi Miswar Mustafa

Sebulan, setelah tenda darurat 800-an pengungsi musibah tsunami berdiri, tiba-tiba seorang nenek, dua orang cucu, dan seorang perempuan yang diaku sebagai menantu si nenek datang ke titik pengungsian di Mesjid Kopelma Darussalam, Banda Aceh. Mereka mengaku korban tsunami. Tapi, empat tahun usai ‘air raya kh’op’ itu mereka masih tinggal di pengungsian di bantaran krueng Aceh. Mereka menanti janji bantuan rumah di kawasan Ladong, Aceh Besar.

Potret kehidupan orang Aceh yang ditulis secara antropologis oleh Arif dalam buku ini adalah salah satunya dari sekian yang lain yang terbaca oleh saya. Bukan hanya karena Nek Salbiyah sekampung dengan saya. Sesuatu yang berseberang dalam satu ihwal dan membuhul menjadi satu dan sering terkata sebagai ironisma itulah yang mengundang decak yang diam. Sama halnya ketika dalam tulisan lainnya penulis memburaikan kepiluan seorang anak negeri kepada dua bapak bangsa yang dikhianati dan berusaha dilupakan Indonesia; Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dan Teungku Daud Beure’eh.

Dalam paparan hidup kedua tokoh inilah kita seakan dapat melihat siapa penulis yang sebenarnya. Menurut saya antara judul dan tulisan-tulisannya agaknya miring dan kurang cocok jika dijudulkan demikian yakni Aceh di Mata Urang Sunda. Lagipula beberapa tulisan hanya berupa reportase sejarah dari kepustakaan yang umumnya sudah diketahui sehingga Ahmad Humam Hamid sendiri mengatakan, “…ditambah dengan referensi sejarah yang lumayan”. Memang, seperti pengakuan penulis dalam buku ini, yang telah ‘tidur’ dan ‘meniduri’ Aceh, tetapi, jika kita ditanya orang apakah ia telah menjadi orang Aceh yang sepenuhnya memahami Aceh? Pertanyaan ini ternyata menyiratkan dokumen lain yang harus kita kembalikan ke tengah-tengah kita, pada persoalan atas dasar apa seseorang menulis. Seumpama benar apa yang dikatakan Denys Lombard dalam bukunya –Kerajaan Aceh- bahwa landasan wahid C. Snouck Hurgronje  menulis buku-bukunya tentang Aceh semata demi kepentingan politik kolonialisma. Atau, keabsahan sejarah secara sinkronik -sejarah yang melebar dan melingkar pada satu titik- dalam bentuk sastra yang ditulis orang-orang luar Aceh paska tsunami dengan kedangkalan etnografi Aceh sehingga (Azhari: Kompas, 26 April 2009) akhirnya ‘Aceh jauh sekali’ dari kebenaran yang umum diketahui masyarakatnya.

Tentu saja Arif Ramdan berbeda dengan orientalis Belanda yang saya sebutkan di atas ataupun dengan Sunardian Wirodono. Arif seorang yang terbiasa dalam memotret kehidupan dengan akar kebiasaan objektif demi kepentingan pembaca. Tetapi Arif tidak bisa berbohong ketika dia melindapkan kekagumannya pada Kartosuwiryo. Dan, kekaguman ini tidak saya tangkap dalam nukilan sejarah yang takkan terlupa di tanah ini tentang ‘kekurang-ajaran’ Soekarno saat mengkhianati Teungku Daud Beureu’eh. Nah, chauvinisma model begini saya kira wajar-wajar saja manakala membayangkan seandainya orang Aceh yang tinggal di Pasundan dan menikah dengan Neng Geulis di sana, menerbitkan buku yang judulnya Sunda di Mata Ureueng Aceh. Pengucapan yang tawar dan terasa berbumbu dalam tulisan mengenai keagungan dua bapak bangsa yang terlupakan tersebut dapat dipastikan bersua oleh pembaca.

Kembali lagi ke Nek Salbiyah yang sekampung dengan saya. Di sini, Arif tidak datang dan menghakimi dalam tulisannya. Bila benar apa yang diketahui belakangan bahwa Nek Salbiyah bukanlah korban tsunami tapi seorang ibu dari seorang kombatan yang telah tiada, inilah informasi yang banyak kita sadari tapi seakan luput dan selesai ketika disesuaikan dengan kalimat; konsekuensi logis dari konflik yang berkepanjangan. Daya gagah tulisan dibandingkan lisan dalam pelaporan menyangkut banyak hal akan tetap seperti yang tereja. Bagaimanakah kelanjutannya, kita hanya bisa mengharapkan adanya orang-orang yang telah dipercayakan pada penanggulangan bencana-bencana serupa ini untuk turun tangan serta kaki sekalian.

Beberapa catatan tentang Cut Nyak Dhien yang dimakamkan di Sumedang saya kira biasa-biasa saja. Bahkan saya cenderung khawatir terhadap kinerja editorial buku ini ketika dalam tulisan Cut Nyak Dien Eyang Ratu Urang Sunda tercatat -Ayahnya syahid dalam pertempuran di Gle Tarum 29 Juni 1070- salah dan amat mengkhawatirkan sebagai sebuah dokumen sejarah. Tapi untungnya diikuti oleh catatan peristiwa-peristiwa yang lain semisal ultimatum perang dari Belanda kepada Kerajaan Aceh Darussalam pada tanggal 1 April 1873 oleh F. N. Niewenhuyzen, Teuku Umar gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.

Dalam bab III, di mana bahasan menguar rekonstruksi dan perdamaian juga seperti dilimbungi, disamar-samarkan. Saya merasa bagian ini sengaja difiktikan ketika dalam tulisan Kun Payah Kun –mengingatkan saya bagaimana pola kerja wartawan selama ini di lapangan yang tidak bisa ditoleransikan- ketika kepala BRR memberikan amplop yang berisi tiga berlian berkilau dan dua permen lolypop warna biru tapi ujung-ujungnya ternyata mimpi. Lalu kemudian, tahu-tahu langsung terhubungkan dengan kondisi nyata bahwa Jurnalis Aceh menolak peralatan kesekretariatan yang diserahkan Juanda jamal, orang di bagian komunikasi BRR.

Saya akui, walaupun saya sendiri belum menulis satu buku pun, bahwa saya tidak suka buku ini. Sudah saatnya pengidentikkan Aceh dengan tipu yang selalu dikatakan mahsyur itu dihapus pelan-pelan. Konon lagi bersebab, bagaimana Jakarta yang mahsyur menipu Aceh saban sabè, dari pelabelan Aceh sebagai daerah yang istimewa (aleh peu-peu mantöng istimewa), pemberian otonomi daerah yang hanya tertulis nan rapi itu dan disebut undang-undang, dan bagaimana kebijakan-kebijakan pusat untuk Aceh yang dimacetkan, seolah-olah terbenam di kepala kita; bagi saya han èk takhèm le. Anda boleh percaya atau tidak kata-kata saya; saya tidak peduli. Saya sama sekali tidak merasakan tatapan mesra urang Sunda dari balik kacamata rayben dalam buku ini.

Judul: Aceh di Mata Urang Sunda
Penulis: Arif Ramdan
Penerbit: Bandar Publising
Tebal: 215 halaman
Banda Aceh, 2 Mei 2009

NB. Pernah dimuat di Tabloid Kontras

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg