Setelah Putra Mahkota Dipancung


Oleh: Edi Miswar Mustafa

Kuurungkan ingat pada ’nganga masa muda. Pertaruhan sinting padamu. Sekujur tubuh pun luruh menyentuhkan sekian dalih. Terimalah aku bumi. Terimalah. Batin pemuda itu terkapar. Lunglai.

O, aku raja. Tapi si celaka ini telah menurunkan martabatku. Demi keadilan dan kewibawaan, sebuah kesan yang baik akan meninggalkan kenyataan ini ke mana pun dan sampai kapan pun. Benak lelaki tua itu terjerembab sampai sembab.

Aku pewaris takhta. Ha ha ha bunuhlah ia segera. Cepatlah. Tebas. Ah, apa yang kau pikirkan ayah, anakmu itu bisa jadi bukan anakmu. Bisa jadi ia hanya seorang turunan perompak Perlak. Kau terpikat pada ibunya karena kilaunya tak ada bedanya dengan cerita-cerita gurumu di Asahan tentang wanita jelita dari suku Quraisy. Tidak ada yang mendengarkan bisik hati itu. Kecuali si pemilik tubuh, malaikat, dan iblis.

Tuanku, apakah kau tidak mempercayaiku. Yang di hadapanmu itulah dalang kerusuhan selama ini. Orang yang membocorkan rahasia kerajaan kepada orang-orang Peranggi di Malaka. Syahbandar, Keujruen Sikandang sudah bicara. Lakukanlah segera. Biar kita segera pergi dari tempat terkutuk ini.

Perempuan itu sangat cantik dan bisik hatinya telah berulang kali terdengar olehnya sendiri.

Pedang berkelebat. Kepala itu lepas dari tubuhnya seperti semangka yang dibelah dua. Sang raja dengan Zulfikar berlumuran darah berseru ke hadirin. Suara itu terdengar serak. Bagai tercerap rindang keutapang di segenap keluasan. Lalu terdengar kembali beberapa titahnya agar menguburkan putranya tanpa nama. Agar di kuburnya pun jahanam yang membuatnya malu itu tahu bahwa ia tak pernah layak menjadi putra mahkota.
Iring-iringan raja, permaisuri, memasuki dewala sebelah barat keraton. Dari pasukan gajah terdengar tanda kepergian berupa bebunyian terompet kalebangsa.

Di joli-jolinya orang tua itu menangis. Ia merasakan saat-saat yang tidak menyenangkan dijunjung. Kemudian ia minta turun. Berbelok ke gunongan. Permaisuri mengikutinya.

Dinda, aku laki-laki yang kejam, kata lelaki tua itu. Perempuan itu mendekatinya. Pada wajah ikut terkata perasaan bersalah dan duka. Lalu ia bicara, tidak kanda. Kanda telah memutuskan suatu keadilan yang akan dikenang oleh rakyat senegeri, baik yang ada di sini maupun yang ada di seberang dan di selatan Barus sana. Kanda adalah pahlawan. Raja yang dicatat dalam sejarah karena kegemilangan.

Suara tetabuhan rapai para penari terdengar. Perempuan itu segera mengerti. Rencana selanjutnya akan segera dilaksanakan. Tak akan butuh waktu lama lagi. Negeri Pahang di depan mata. Seperti apa yang dibicarakan malam itu. Maka dari sekarang perompak yang berteduh di Lamri harus melintasi Pulau Neraka guna memulai penyerbuan. Di sana orang-orang Peranggi telah menunggu. Sementara itu mesjid besar itu segera diputuskan dibakar. Itulah pertanda ke laut lepas awal penggulingan. Maka seolah-olah yang melakukannya adalah Peranggi dan perompak-perompak jahanam itu.

Dinda, mengapa dirimu tertawa, tanya sang raja. Racun itu belum menyebar. Kaki tuanya belum merasakan apa-apa. Perjamuan baru berakhir beberapa saat lalu. Dan ia melihat Pulut Adang itu tak bersisa di piringnya.

Kanda, apakah kau menyesal, kata permaisuri celaka itu. Ia tahu racun itu akan meringkus tubuh tua itu di saat keterkejutannya. Tambahnya, menyesal telah membunuh Meusara. Menyesallah. Sebab semua tuduhan perselingkuhan itu tidak pernah terjadi.

Sang raja terhenyak. Heran. Tapi jantungnya menderak hebat melihat tawa permaisuri yang aneh. Tubuh sang raja tak bisa digerakkan. Tak ada perselingkuhan. Yang terjadi adalah kami menjebaknya. Hanya saja kau bodoh. Kau terlalu percaya kepada kami. Kami memang membenci orang-orang Peranggi karena mereka kafir. Tapi kami lebih membencimu karena orang-orang yang kami cintai telah mati gara-gara perbuatanmu.

Di gunongan itu tidak ada darah hari itu. Joli-joli terangkat ke istana. Dan di lapangan gajah debam-debum langkah binatang besar itu tak pernah lagi terdengar. Esoknya terompet terdengar sebanyak tujuh kali. Syaikh dari Raniir itu berkata, pahlawan besar kita telah tiada pada saat yang berbahagia. Seluruh negeri berkabung. Bacalah oleh kita semua surat Al Mulk agar kuburnya diterangi cahaya senantiasa. Begitulah. Si dravida itu tiap-tiap malam datang ke peraduan permaisuri. Karena mereka adalah kekasih lama semasa di Pahang dahulunya.

Blang Oi, 2 Februari 2009



*) Edi Miswar Mustafa, peminat Sastra, tinggal di Banda Aceh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg