Surat Cinta

Oleh: Edi Miswar Mustafa

Tanpa sengaja aku menemukan surat-surat simpanan ibu. Sungguh, benar-benar tak menyangka bahwa ibuku demikian harum di masa mudanya. Telah kuhitung semuanya; semua berjumlah 569 pucuk surat. Dan, kiranya, bukan dari ayahku. Hm … apakah ibu selingkuh? Tapi hanya dari laki-laki itu seorang.

Suatu ketika kuberanikan juga diriku bertanya. Sejenak ibu terlongong seperti orang yang kepergian ruh dari tubuh. Lantas berceritalah beliau bahwa ayah di masa hidupnya mengenal laki-laki yang menulis surat untuk ibu, tapi ibu tak pernah memberitahukannya kalau surat-surat itu dikirimkan laki-laki itu. Sampai kemudian ayah meninggal dunia dan laki-laki itu melamar ibu.

“Ibu bilang, kamu belum pernah berkeluarga, alangkah sayangnya seorang laki-laki bujangan menikahi janda beranak tiga,” kata ibu. Langit hari itu sungguh biru. Lalu ibu mengatakan, “Mungkin surat-surat itu ibu bakar saja.”

“Biar Neisha bakar, Bu. Tapi, Neisha mau baca dulu, ya,” tukasku. Dan aku mengejar ingin tahuku kepada ibu, “Apakah laki-laki itu mau mendengar penolakan ibu.”

Ibu tersenyum, “Ya, dia hanya mengatakan begini; nurul, rupa-rupanya kamu memang sama sekali tak mau menerimaku. Tapi, kemudian dia menikahi seorang perempuan yang paling genit yang pernah ia kenal. Dan itu benar, ibu beberapa kali sempat bertemu.”

Surat pertama yang kupilih untuk kubaca adalah yang bersampul penuh bunga-bunga krisan, warnanya coklat tua campur merah mawar.

Hai, Nurul, apa kabar hari ini. Moga kamu selalu dalam keadaan bahagia. Ya, bahagia. Apakah bahagia itu? Aku sendiri tidak tahu. Mungkin serupa perasaan orang yang rajin shalat sesudah melaksanakan ibadah itu dalam lima kali sehari.

Oya, gimana drama kami kemarin, bagus tidak. Sebenarnya aku tidak berani jadi bencong, mengenakan rok, dan ditonton sedemikian banyak teman-teman. Aku lihat kamu di depan panggung, nyaris saja aku tak berani tampil. Apalagi konsep drama komedi yang kami bawakan. Saat-saat aku harus menari persis seperti orang gila.

Tapi, terus-terang, aku sangat senang telah dapat membuatmu tertawa-tawa bersama yang lain. Memang, di sela-sela lakonku, aku sempat melirak-lirik ke arahmu. Kamu mengenakan jilbab hitam di dekat pohon waru. Hm … maaf ya, fotomu ada aku ambil beberapa lembar dari laptop Herman.

Surat kedua yang kupilih, yang kertasnya berwarna krem dengan bunga-bunga tulip tapi warnanya tidak asli lagi.

Hai, cantik, kamu lagi marahan sama aku ya. Gitu saja kok marah. Aku memang bilang sama teman-teman kalau aku iseng ‘ngirim sms ke koran. Aku pikir, apa salahnya mengungkapkan cinta sama seseorang yang kita sayang. Lagipula, coba lihat sms-sms yang banyak bertebaran di situ, kebanyakan sms protes melulu.

Paling tidak, aku sudah berani bilang kalau aku suka kamu, Nurul he he he ya I love U…

Surat ketiga kertasnya putih agak polos, kecuali setangkai anyelir di kiri bawah kertas.

Maaf, kalau karena cerpen itu kamu bersedih. Pak Budi mungkin belum tahu cerpen yang dimuat di tabloid kampus maka beliau ‘nyapa Nurul dengan membawa-bawa perasaan Nurul seperti di cerpen Malam Tahun Baru yang aku ikutkan ke lomba di PEMA. Cerpen itu aku apload di milis gemasastrin[1].

Sebenarnya, tak ada niatku untuk membuatmu malu. Aku dipanggil Pak Teuku, Pak Azwardi, dan Pak Mukhlis gara-gara cerpen itu. Aku cuma mau mengungkapkan kalau aku benar-benar sayang sama kamu, Nurul.

Sialnya, bukannya harapan itu tercapai, tapi malah kamu semakin jauh dariku. Kamu tambah membenciku. Kamu akan melupakanku sampai seumur hidupmu.

“Sudah surat ke berapa?” Tiba-tiba ibu duduk di sebelahku. Aku jawab, sudah surat ketiga. Ibu tersenyum dan berlalu. Tapi beberapa menit kemudian beliau datang lagi. “Nanti malam saja baca lagi. Sekarang sudah sore. Ayo, apa tugasmu, itu ayam dan itikmu sudah minta makan.”

Aku mengembalikan surat-surat itu ke dalam bundelannya. Kulihat ibu tersenyum-senyum setiap kali memapasiku. Entah kenapa. Apakah menertawakan Jamal yang datang berkunjung malam tadi?

Malamnya, setelah membaca beberapa surat, ibu berkata, “Jamal, pacar Neisha, anak dari orang yang menulis surat-surat untuk ibu ini.”


Tanjong Selamat, 25 Juni 2009


[1] Organisasi kemahasiswaan program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg