Surat yang Tak Jadi Dikirim

Oleh: Edi Miswar Mustafa

Ia linglung. Mungkin akan melepaskan penyesalannya seperti yang telah dibayangkan semula. Ia kembali melihat surat itu. Lantas mulai lagi menulis ulang karena ada beberapa kata-kata yang salah. Atau, menulis ulang kembali karena beberapa kalimatnya yang harus diubah. Atau, kata-kata metaforis; apakah perlu dilebihkan, apakah perlu dikecilkan - hiperbola, litotes. Ah, sama saja. Seandainya ia punya komputer sendiri. Menulis sepucuk surat tentu tak akan butuh waktu selama ini.
Kepada Samirka

Kutulis surat ini kala hujan gerimis[1]. Angin menggeraikan keindahan-keindahan yang bersukacita saat mata kita menjadi jembatan. Kesulitan yang pernah teralami sekarang sejenak musnah. Pelita berpijar seolah-olah awan yang berseliweran di langit-langit tanpa batas. Samirka, aku cinta padamu.

Penat seharian ini telah ditumpahkan ke dalam ember. Di sana penat itu tersenyum-senyum bersama bau tengik keringat. Ia menyapa air yang dikeluarkan secara gatal oleh sanyo; hei… tahukah kalian. Cinta itu ibarat buah tomat yang matang dan berwarna meriah semeriah api ketika menyala-nyala. Sungguh aku ingin mencintai suatu masa. Tentu tuhan akan mendengar suara hamba.

Air pun tersenyum. Ia telah melakoni hidup ribuan musim di ceruk bumi. Lalu ia pun menjawab; benarkah penat. Tidakkah kau tahu bahwa cintalah yang menjadikan kehidupan mulia sepanjang masa. Tidakkah kau tahu bahwa cintalah ihwal teramat gezah untuk diutarakan. Sudahlah dan terima kasih. Pikirkanlah tentang cinta itu.

Samirka, jika kau dengar itu matahari terbenam bagiku tidak segemulai dirimu. Tari-tarian yang ditarikan para bidadari dari negeri di atas awan tidak segemulai dirimu. Kau bagiku seperti lindapnya cahaya bukit Tursina ketika Tuhan bicara dengan Nabi Musa.

Tapi mengapa Samirka. Lekas sudah kita saling sapa. Aku terkadang teringat apa kata Iman Al Ghazali; nikmat cinta hanya sekejap terasa, tetapi luka karena cinta selamanya akan terasa. Apakah aku harus mencintaimu setengah hati? Tidak. Aku tidak akan mencintaimu dengan perasaan setengah-setengah. Aku ingin mencintaimu dengan sepenuh hati sepenuh jiwa.

Ia berhenti menulis. Membaca kata demi kata dengan perlahan. Nada surat itu menurutnya terlalu merendah-rendahkan diri. Ia laki-lakai. Ia tak akan pernah memberi hati seempuk itu pada perempuan sekalipun ia secantik isteri fir’un; Cleopatra. Karena perempuan sesungguhnya perusak. Tercatat dalam sejarah bagaimana kekaisaran-kekaisaran besar kehilangan daya karena wanita. Wanita memang racun dunia[2]. Lihatlah Julius Caesar di Romawi. Dan banyak kekuasaan-kekuasaan lain namun di bawah pengaruh perempuan semuanya hancur lebur. Di masa kita persis seperti Oom Clinton.

Samirka yang Baik,
Kau lihat. Bagaimana negeri kita ini selalu risau. Sebabnya karena paham materialistik telah begitu menghunjam di jantung hati tiap-tiap kita. Sehingga ketika hidup seperti sekarang ini. Kita lupa bagaimana hidup di masa itu penuh darah di depan mata kita.
Ia lagi-lagi berhenti menulis. Ia membatin; tulisan ini macam teks proklamasi ‘45. 


Cerpen ini dimuat di Serambi Indonesia, 18 Januari 2009.







[1] Selarik sajak dari puisi W. S. Rendra yang berjudul Surat Cinta
[2] Larik lagu The Changcutter; Racun Dunia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg