Telepon Genggam
Oleh: Edi Miswar Mustafa
“…khasanah lama, lagipula teks itu mestinya kita yang
seharusnya menghargai dan mewarisinya. Kita sendiri, Pak. Bukankah yang mulanya
mempelopori penulisan ejaan melayu orang-orang dari tanah ini, orang-orang
Samudera Pasè yang mengarang
Hikayat Raja-Raja Pasè,” kata
Bobby, berapi-api.
“Memang, itu tidak salah,” jawab Abdul, “Tapi kalimat
jika kita ditanyai orang berapa perkara rukun Islam, jawab bahwa rukun Islam
lima perkara, tidak sesuai dengan pola kalimat dalam bahasa Indonesia. Itu
saja, terima kasih Bobby, ya. Bapak berharap bobby terus menulis, menulis, dan
menulis. Karena kebudayaan menusia yang paling tinggi adalah menulis. O iya,
tulisan Bobby di Serambi Indonesia sabtu kemarin sudah Bapak baca. Bagus, bagus
sekali.”
Mahasiswa yang berkulit putih yang duduk di belakang itu
nampak tersipu. Abdul sengaja memujinya. Ia memperhatikan perawakannya seksama. Di hati ia mengumpat; sintaksis empat es
ka es hoho…. Kalau kau tidak lulus mata kuliah Sintaksis satu ini, kau tidak
bisa program Mata Kuliah Sintaksis dua, Anakes, apalagi Mikro Teaching. Baru
tahu rasa kau. Sok jago berdebat.
“Pertemuan kita hari ini kita
padai sampai di sini saja. Bapak
mau ke rektorat. Dengar tadi kan Bapak bicara di HP sama siapa. Rektor sendiri
yang tadi menghubungi Bapak.” Senyum, Dul. jangan lupa, kembali ia membatin, ”Assalamu’alaikum…”.
“Wa’alaikumsalam…,” seru
mahasiswa serentak.
Abdul memasukkan modul Sintaksis
ke dalam tas, laptop. Sementara itu mahasiswa segera krasak-krusuk mengemasi
buku-buku mereka ke dalam tas.
Kaki abdul menginjak parkiran
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. terus menghampiri Suzuki APV-nya. Besi
berkilat itu berdesis seperti seorang mahasiswi kena towel mahasiswa yang tidak
disenanginya. Sekilas ia menoleh ke arah kantin di ujung timur sana. Dasar
mahasiswa kampungan, bukannya pulang ke kos-kosan masing-masing mengulang yang
sudah diberikan.
“Pak, saya minta maaf,”
tiba-tiba Bobby telah berada di hadapannya, ”Maksud saya, saya semata prihatin
melihat teman-teman, calon-calon guru Bahasa Indonesia. Terus, di
sekolah-sekolah, lihat saja, Pak. Pelajaran bahasa indonesialah yang sangat
membosankan karena guru-gurunya tidak suka membaca. Pengajaran yang monoton
dari dulu-dulu. Melulu hapal unsur kalimat-kalimat, tanda baca, kamudian
diakhiri pembelajaran dikte. Saya ingin teman-teman, yang nantinya jadi guru Bahasa
Indonesia, tidak hanya pandai mengoreksi kalimat tetapi juga terampil dalam
aspek berbahasa yang aktif. Menurut saya selama ini guru-guru kita tidak pernah
berupaya mengkondisikan bagaimana siswa-siswa terampil dalam aspek barbahasa
aktif ; seperti terampil berbicara, terampil menulis. Sehingga ke depan
mereka tidak cuma…”
”bagian dari intelektual
bangsa ini yang tidak hanya menjadi tukang-tukang terima ide-ide Barat tanpa
sekalipun mampu merumuskan gagasannya dalam bentuk tulisan untuk dibaca Barat,
begitukah maksudmu, Bobby?” Senyuman Abdul mengembang. Ia yakin senyumnya
kelihatan berbangga hati mempunyai mahasiswa seperti yang ada di depannya
sekarang. Bobby terus bicara penuh semangat.
Sayang, batin Abdul. Mungkin,
idealisme ini juga akan padam saat kau tahu bahwa pendidikan sama saja dengan
program pemerintah di bidang-bidang lain. Saat kau tahu mempertanyakan mengapa
harus ada dualisme pendidikan antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan
Departemen Agama. Kau tahu kau belum merasa menjadi guru yang dibanting ke kiri
lalu dibanting ke kanan. Kau tahu kau belum tahu bagaimana pahit rasanya kala
istri dan anak-anakmu dalam keadaan ekonomi pas-pasan yang kau hidupi dengan
gajimu.
Seandainya pengetahuanmu telah
hinggap di cabang pohon sana. Seandainya pemahamanmu telah menyadarkanmu apa
artinya pendidikan di negeri ini, tentunya kau akan muak memberikan apa yang
kau punya sebagai sumbangsihmu pada murid-muridmu, kepada generasi Indonesia
yang merdeka seperti kau sekarang ini. Mungkin saat itulah kau akan selalu lesu
berdiri di depan mereka, dengan tangan belepotan kapur, mulutmu yang
berbuih-buih membicarakan angan-angan kosong belaka mengikuti
negarawan-negarawan kita yang selalu punya kebijakan jitu tapi kosong
pengaplikasiannya.
Sementara itu, tak jauh dari
sekolah tololmu, kau pun mengerti benar tentang teman-temanmu yang bekerja di
jawatan-jawatan pemerintah. Sehari-harinya datang tepat waktu ke kantor, lihat
berkas-berkas di atas meja sebentar, baca Koran, minum kopi, lalu pulang ke
rumah menggendong perut buncitnya. Akan tetapi, awal bulan ternyata gaji mereka
lebih besar. Belum lagi kalau ketiban rejeki dari proyek-proyek basah. Sedangkan
guru. Huh, menyedihkan. Mana ada proyek selain diproyekkan. Nah, ketika itulah
idealisme ’45-mu akan kau tendang ke dalam selokan di dekat rumah kontrakanmu.
“Bobby, Bapak sangat senang
melihatmu,” kata Abdul memotong letupan-letupan gairah anak muda yang baru tahu
sedikit hal yang baik, Abdul tak bisa mengenyahkan suara hatinya. “Kau benar.
Pernahkah kau dengar nama seorang demonstran angkatan ’66, jaman setelah
Soekarno digulingkan. Namanya Soe Hok Gie?”
“Sepertinya saya pernah dengar,”
timpal Bobby. Keningnya berkerut.
“Baru saja dikisahkan dalam
film oleh Riri Riza.”
“Ya, ya, Pak. Saya ada
nonton filmnya. Sponsornya
rokok mild.” Lagi-lagi Bobby merasa sangat sepaham dengan Abdul. Wajahnya
nampak sumringah.
Abdul tersenyum kebapakan.
Senyumnya kemudian melembut. Ramah. Dan justru mahasiswa itu makin bergairah
mendengarnya bicara Ada rasa takjub di
matanya.
“Ia sepertimu juga Bobby.
Seorang jiwa muda yang kritis, mempertanyakan segala hal,tapi, kemudian akhirnya
percaya kalau ada memang argumennya lain yang lebih logis. Ia seseorang yang
seperti kata Pramoedya Ananta Toer, hm…Bobby kenal dengan pengarang yang hampir
separuh hidupnya berada dalam penjara. Ia punya buku lebih dari lima puluh
judul.”
Pemuda itu menggelengkan
kepala. Namun, sebentar kemudian bagai dikagetkan setan, jawabnya, “Tahu, Pak. Saya ada baca bukunya yang berjudul
Perburuan dan Cerita Calon Arang.”
“Bagus. Lain kali Bapak
pinjami Master Piece-nya yang ia tulis di Maluku, Tetralogi Pulau
Buru. Ia pernah berkata, seorang intelektual sejati adalah seorang manusia yang
adil semenjak dari dalam pikirannya.” Kata Abdul serius, dibuat-buat. Sebentar
kemudian ia kembali tersenyum. Ramah. Selanjutnya, “Bobby, Bapak mau minta
tolong sama Bobby, boleh?”
“Tentu, tentu dong,
Pak. Apa yang bisa saya tolong, Pak?” Bobby memperbaiki letak tas ranselnya. Ia mengenakanya di bahu yang kiri. Bahu
kanannya terasa kebas.
“Tolong kasih tahu anak
regular di RKU IV, Bapak tidak bisa masuk, “Abdul menaikkan lengan kanan.
Menarik pipa baju lengannya untuk melihat jam, “Leting 2006 ya, bobby.”
“Ya, Pak. Saya permisi
dulu ya, Pak.” Abdul mengangguk berterima kasih.
Abdul melihat tubuh
tinggi itu melintasi tanah becek. Hampir saja ia terjerembab, dan Abdul tertawa
tertahan di dalam mobilnya. Ia
seberangi pekarangan gedung pengajaran tua itu, yang dilatari rerumputan basah
sisa hujan semalam. Tangan Abdul bergerak. Abdul mendengar bisikan mesin
mobilnya. Rem tangan ia loloskan perlahan. Di lain detik kaki kirinya menginjak
kopling, intuitif ia mengulur. Saat yang selanjutnya injakan gas membawa
tubuhnya dari jalan aspal kurapan kampus Unsyiah. Tangannya kembali bergerak.
Seketika udara sejuk mengusir penatnya menghadapi mahasiswa goblok tadi. Dan
lantunan sebuah lagu melankolis membuainya.
Telepon genggamnya menderak
mendadak dalam saku celananya. “Assalamu’alaikum, Ma.”
“Nggak usah mesra-mesraan ah.
Aku tunggu di rumah. Ajak Eka ke rumah.”
Ia memelankan laju mobil lalu
menyisih ke tepi jalan.
“Pasti dong, Ma. Udah
Abang bilang semalam kan? Sekarang,
tunggu kami di rumah, ya? Eka udah Abang telpon. Setengah jam lagi sampe,
oke.”
Istrinya menutup telpon.
Nampak Abdul menyeringai. Menghela napas panjang. Bayangan semalam di peraduan
menerobos kepalanya.
“Jangan sentuh aku,” berontak
istrinya, “Sebelum Abang bisa menjelaskan ada hubungan apa antara Abang dan
perempuan Jawa itu, jangan coba-coba menyentuhku!”
“Ma…’duh, gimana sih.
Kamu kan istriku,” bujuknya seraya merengkuh pinggang perempuan yang telah memberinya
seorang anak laki-laki yang rupawan seperti wajah istrinya. Tapi perempuan itu
meronta bak disengat lebah hutan ketika ia mengelus kulit halus di bawah
selimut mereka.
“Nggak dengar, ya,”
kembali perempuan itu berkata, setengah menjerit. “Tidur aja sendiri. Aku
mau tidur sama Fajriman.”
“Ma!” Abdul kelihatan kesal.
“Aku udah nelan obat nih.”
“Nggak!!” Istrinya berkata
ketus.
Abdul tersentak. Lengkingan
kerbau Jepang itu menyadarkannya. Matanya mengikuti pengendara sepeda motor satria
yang berkelebat di depan.
Sebentar ia mengambil telepon
genggamnya. Tuts telepon genggam itu ia pencet. Menu. Kontak. Tombol DEF. E;
Eka Sunda. Sejenak hubungan tersambung. Tut…tut…tut…
“Halo, Mas Dul. Eka kangen nih,.”
Sapa satu suara di seberang sana. Abdul tersenyum kecut.
“Halo Say, kangen juga nih.
Eka. Hm…,” ia kelihatan ragu.
“Ada apa, Mas Dul. Kok
lesu toh. Lagi ‘ngebangin Eka, ya?.Ih…dasar nggak dapat layanan istimewa
dari bojone*.” Perempuan itu tertawa renyah.
“Mas Dul diminta
‘ngajakin Eka ke rumah.” Tak
terdengar apa-apa lagi dari sana. Abdul merasa seperti dikempit sesuatu.
Sebenarnya mereka telah lama
saling mengenal. Eka anak Ibu kos-nya ketika ia masih kuliah di Bandung. Saat
itu Eka masih kelas satu SMA.
Rumah Eka lantai dua. Abdul
mengontrak kamar saru-satunya di lantai atas. Mereka sering mengobrol hingga kemudian
Eka sama sekali tak canggung lagi bila masuk kamarnya. Suatu sore, Eka pulang
sambil menangis masuk kamarnya. Ia bercerita kalau Steven, pacarnya yang sering
‘ngapeli malam minggu dengan escudo silver, minta hubungan mereka putus. Eka
tidak terima. Tapi, Steven malah menggandeng cewek lain di depannya pas acara
ulang tahun temannya. Padahal Eka telah memberikan semua yang ia miliki, bahkan
bunga suci satu-satunya.
Semenjak itu Abdul dan Eka
sangat dekat. Kerap curhat-curhatan. Orang tua Eka juga setuju kalau Abdul jadi
pacar anaknya walaupun ia tak pernah mengaku kepada mereka bagaimana hubungan
itu yang sebenarnya. Sampai kemudian hubungan badan di antara mereka tak bisa
dihindari. Tapi keduanya berjanji bahwa rahasia itu hanya mereka yang tahu.
Dan tiba-tiba Eka muncul
kembali dalam kehidupan Abdul. Ia bekerja di salah satu LSM asing. Ia juga
telah bersuami, orang Batak. Mereka tinggal di Bandung. Empat hari dalam
sebulan ia balik ke Jawa bertemu suami dan anaknya.
Tapi entah bagaimana, sejak
mereka kembali bersama. Pada lenguhannya yang menggetarkan di Bandung dulu,
Abdul begitu saja luluh ke pelukannya. Eka menyambut gembira.
“Mas, Dul. Mas Dul…” Abdul
mem-pause-kan lamunannya. Ia mengusulkan bahwa mereka harus berjumpa
sesegera mungkin. Di tempat biasa. Warung kopi di Ulee Kareng.
Eka setuju apa yang diinginkan
Abdul. Mereka tidak ada hubungan apa pun selain sahabat, selain sebagai adik
dan kakak angkat. Karena Abdul kesayangan Mama Eka. Itu saja. Tidak lebih.
Abdul menyetir mobilnya. Eka
juga demikian, mobil operasioanal tempatnya bekerja.
Namun bagi Abdul, biar bagaimana pun, gemuruh
itu tidak pula menghilang. Tidak. Ia tidak akan membiarkan perkawinannya
mengoyak rampak. Tidak akan. Apalagi ingatannya pada Fajriman yang masih kecil.
Eka kagum melihat rumah Abdul.
Dibandingkan rumah orang tuanya di Bandung, rumahnya akan mirip pribumi minder
jaman kolonial yang berhadapan dengan seorang Tuan Eropa. Pohon-pohon palm
tumbuh sejajar dengan pagar besi yang tinggi. Rumah itu berasitektur ala
Spanyol. Atap rumah itu dari genteng coklat kehitam-hitaman.
Eka tersenyum seorang diri.
Perlu-perlunya ia harus kembali ke tempat tinggalnya. Ganti kemeja lengan
panjang yang longgar. Mengenakan rok yang tidak menampakkan lekukan tubuh. Dan,
jilbab lebar seperti yang dipakai anak-anak lulusan sekolah agama. Ada-ada saja Mas Abdul.
“Ma…ini Eka. Ma…,” Abdul
memanggil. Saat mereka
bertatapan. Keduanya tersenyum.
“O…ini anak ibu kos, Abang.”
Dari lantai atas terdengar nada sinis dalam ucapan seorang perempuan. Ia
berhidung mancung. Wajah itu oval sebagaimana kebanyakan orang-orang Aceh. Begitu
kelihatan pantas dengan rambut yang disanggul menegak. Bibir itu merekah merah
basah tanpa lipstik sama sekali. Ia mengenakan kaos putih polos ketat. Dan
jeans yang memamerkan bentuk panggulnya yang sempurna.
Betapa anggunnya ia saat
merogoh kantong jeansnya mengambil telepon genggam. Eka duduk di sofa dari
kulit kualitas import. Tapi perempuan itu masih berdiri dengan wajah angkuh.
Benar-benar angkuh. Inikah istri Mas Dul? Ia seperti sibuk menekan tombol telepon
genggamnya, tapi kemudian berkata, ”Ini Eka. Setelah Eka lihat baik-baik, kasih
lihat Mas atau Bang Dul Eka panggil,” katanya masih dalan nada sinis.”Apa benar
seperti kata Bang Dul kalau Eka cuma teman satu rumah dulu atau teman satu
kamar.”
Sontak Abdul ingin membantah
apa yang dikatakan istrinya. Tapi istrinya berkata kembali, mendahuluinya, ”Aku
akan pulang kampung, Bang. Pesanku, jangan sekali-kali Abang berzina di rumah
ini. Uangku juga ada membangun rumah ini.”
Ia memutar tubuh. Nampak ia
terisak. Bahunya terguncang. Tergesa-gesa ia masuk garasi. Dalam hitungan detik, mobil merah muda itu meninggalkan pekarangan.
Abdul serasa dilepas
jantungnya. Sementara itu, Eka mengutuk lirih seseorang. Ia seolah-olah
tergeragap dari tadi, tak bisa bicara. Ia pun tak mendengar lagi yang dikatakan
perempuan itu.
“Jahanam Si Jajam,”rutuknya
sengit.
Abdul melesat ke dekatnya.
“Maksudmu Ahmad Jajam, yang kuliah di UGM. Asal Singkil. Wajahnya mirip cina
buduk.”
“Nggak salah lagi, Mas Dul. Pasti dia yang ‘ngambil rekaman ini dari telepon
genggamku.”
“Sialan! Dia sepupu istriku.
Kenal di mana kalian?”
“Kami satu kantor.”
“Dia pernah kupukul waktu kami
masih SMA.”
Ternyata di telepon genggam
istrinya rekaman mereka minggu lalu. Mereka sedang bercumbu di kamar Eka. Apa yang dikatakan Eka kurang jelas
terdengar. Tapi, ucapan Abdul tidak bisa ia elak lagi. Itulah kata-katanya.
“Istriku, Say…nggak asyik saat begini-beginian sama dia . Dia aja yang selalu
‘ngasih komando ganti posisi.”
“Hik…hik…,” tawa Eka terdengar.
“Kasian deh, Mas Dul
dapat istri hasil pelatihan P4.”
Braaak! Telepon genggam itu
pecah berkeping-keping.
“Cina buduk!!!” Abdul menutup
wajah dengan kedua tangannya.
Eka terhenyak di sofa. “Jajam
brengsek,” kutuknya dalam hati.
Tanjung
Selamat, 14 November 2007
*Bojone= istrinya.
Komentar