Safrida Askariah dan Pemerkosaan di Leupueng


Oleh; Edi Mustafa Mustafa

Lagi-lagi pemerkosaan terjadi di Aceh. Bayangkan 11 orang tak berperikemanusiaan itu memuak dalam benak kita. Dan, kita patut bertanya; apakah yang mereka pikirkan? Para pemerkosa itu! Mengapa mereka sekeji itu? Siapakah mereka? Bagi perempuan yang terkena cela mereka, mereka tentu saja, teroris paling berbahaya di seluruh dunia; dan Nordin M. Top hanyalah seorang bandit kecil.

Saya teringat Safrida, tokoh dalam cerpen Alimuddin yang dimuat di harian Kompas medio Oktober 2006 dan tanggal 6 September 2009 lalu diluncurkan dalam antologi bersama penulis Forum Lingkar Pena (FLP) di Banda Aceh. Ia mantan kombatan yang dikenal gagah berani menyusup ke tempat tinggal musuh, pun seorang petempur yang pantang mundur sehingga diangkat menjadi panglima pasukan Askariyah; nama laskar perempuan dalam struktur ketentaraan GAM. Safrida adalah korban nafsu kebinatangan tentara pemerintah setelah mereka membunuh kedua orang tuanya di depan mata. Kemudian, setelah MoU Helsinki, dengan lembut Alimuddin menggambarkan Safrida yang hendak mencuci pakaian  ke sumur Meunasah. Sementara itu, di sekitarnya, orang-orang yang sedang menonton tv di warung kopi bergembira menyambut perdamaian 15 Agustus. Sementara Safrida sendiri, ia bertanya-tanya pada nurani; apa artinya perdamaian di selembar kertas atau beberapa lembar itu bagi dirinya?

Tentunya Safrida tak pernah membayangkan bahwa di bulan puasa ini, empat tahun setelah perdamaian, seorang dari kaumnya harus mengalami nasib sama dengannya. Bedanya, gerombolan pemerkosanya melakukan itu karena kesepian dan kebencian yang lahir dari peperangan; antara kesangsian hidup dan mati yang tak dapat mereka tebak. Sementara gerombolan pemerkosa itu; apakah karena tubuh  perempuan itu yang tidak terbungkus sesuai dengan syariat Islam? Atau, apakah para lelaki itu telah terbiasa melakukan perzinaan sehingga melupakan azab Allah yang teramat pedih? Ada apakah sebenarnya sehingga mereka sama saja dengan makhluk-makhluk mengerikan di masa perang dulu?

Saya kira, pertanyaan apapun tak akan ada maknanya lagi bila ditanyakan kepada kedua pihak tersebut; baik yang menjadi korban atau pun pihak pelaku kejahatan. Biarlah urusan Tuhan saja mengutuk dan mengazab mereka seperti yang Dia firmankan dalam Al-Qur’anur Karim pada alam lain kelak seperti yang kita imani.  Tapi, kita jangan melupakan urusan kita sekarang di dunia bahwa gerombolan itu harus diberi hukuman yang layak dan setimpal agar tak muncul gerombolan-gerombolan yang mengerikan lagi. Makna setimpal di sini sebagai pelajaran agar tak terulang kembali. Kita harus menemukan kearifan yang solutif bagi kedua pihak;  bagaimana caranya agar mereka kembali dapat hidup di masyarakat nantinya. Yang pertama, yang perlu dipikirkan adalah pada pihak perempuan yang menerima kanyataan hebat nan pahit. Kedua, gerombolan pemerkosa itu harus diperiksa baik-baik; benarkah mereka masih dapat disebut sebagai manusia. Mohon diindahkan, jangan sampai qanun-qanun yang sudah dibuat di atas dasar sumber hukum Islam yang kukuh masih saja diselewengkan. Berilah kepada mereka kepastian dengan segera, apakah makhluk-makhluk itu masih patut diizinkan hidup atau lebih baik ditamatkan saja demi mengingat murka Allah Swt. dan kemaslahatan umat manusia seluruhnya.

Di sinilah kita melihat pemerintah sekarang dengan sebaik-baiknya. Jika keadilan tidak diusahakan sejujurnya maka yakinlah bahwa pemerintah kolonialis Hindia Belanda, Pemerintah Indonesia, dan Pemerintah Aceh yang berkuasa sekarang sama saja dengan pemerintah dulu yang kita kutuki itu karena tak berpihak kepada rakyat banyak. Anggaplah kedua pihak adalah anak kandung pemerintah. Barangkali kisah ‘meurah pupok’ yagn disembelih Sultan Iskandar Muda dapat dijadikan suri penelaahan baru dalam cakrawala pemberian keadilan di tanah Islam ini. Jangan sampai pertimbangan politik sempit mengalahkan hukum. 

Kembali kepada cerita Safrida Askariyah tadi, dibandingkan perempuan yang diperkosa di Leupung, Safrida masih punya yang namanya harga diri. Ia seorang pejuang dan orang-orang akan mengingat itu untuk melupakan sesuatu yang dipaksa hilang darinya atas nama peperangan. Tetapi, perempuan yang harus menanggung aib sama dengan Safrida itu? Atas dasar apa mereka melakukannya sehingga mereka harus menghancurkan masa depannya? 

Wibawa pemerintah yang dipilih rakyat setelah penekenan MoU Helsinki harus dibuktikan. Pemerintah yang dapat menerima semua kritikan dari rakyatnya bukan berarti pemerintah sekarang sudah bisa dikatakan telah menjalankan kebijakan pro rakyat atau istilahnya demokratis. Pemerintah seperti ini akan dinilai lemah untuk dapat digantungkan harapan-harapan pembangunan suatu masyarakat ke arah yang lebih baik. Jika kepercayaan rakyat sudah menipis terhadap kehormatan pemerintah, yakinlah bahwa pemerintah tidak lagi sebagai seorang ayah yang bertanggung jawab.  Pemerintah harus menghindari citra ini. Bila tidak, jangan sampai pemerintah berkeluh kesah betapa apatisnya masyarakat dalam mengisi pembangunan di masa perdamaian ini.

Singkat kata, jangan menganggap kecil penyakit sosial di masyarakat seperti ini. Memang, bagi pemerintah, di antara masalah-masalah lain yang menumpuk dan membutuhkan penanganan sesegera mungkin, boleh jadi problem ini hanya persoalan kecil. Tapi, cobalah untuk bersimpati dengan menggunakan sudut pandang di pihak korban. Dari sudut pandang seseorang yang akan selamanya melihat kehidupan ini selalu saja mendung. Dari sudut pandang bagaimana seandainya jika anakku, cucuku,  atau keponakanku yang mengalami nasib serupa ini?

Sampai tulisan ini rampung saya tulis, belum juga dapat saya bayangkan bagaimana seandainya Umar Ibn Aziz, khalifah yang jujur itu, mengepalai provinsi ini; dan bukannya Irwandi Yusuf. Apakah yang akan dilakukan hamba Allah yang masyhur dan dikenang masyarakat Islam sampai beratus tahun itu, seorang hamba Allah yang benar-benar mamahami bahwa seorang pemimpin hanyalah semata-mata sebagai pelayan bagi rakyatnya. Akhirul kalam, menyangkut kebiadaban gerombolan pemerkosa ini, mari kita tunggu bersama tindakan adil dari khalifah Aceh Darussalam.

Banda Aceh, 11 September 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru PPL Bukan Babu

Manohara

Soliloqui Seorang Caleg