Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerpen

Setelah Kematian Haji Rushdie

Gambar
Oleh; Edi Miswar Mustafa Hari telah diambang malam ketika jenazah Haji Rushdie diturunkan ke liang lahat. Namun, bisik-bisik orang sekampung yang mengantarkan jenazah Haji Rushdie masih berdengung bagaikan lebah. Ini tanah pekuburan keempat yang digali orang upahan ahli bait Haji Rushdie. Sebelumnya, berbagai keanehan telah terjadi. Dan, orang-orang pun mulai mengait-ngaitkannya dengan adegan di film Rahasia Ilahi. Karena demikianlah yang dialami penggali kubur. Pada penggalian pertama, baru sedepa tanah tergali, ular bermacam rupa keluar dari dalam kubur. Sementara pada penggalian kedua, baru sedepa setengah tergali, air membanjir dari tanah tersebut. Padahal mereka tahu bahwa di sana bukanlah tanah yang berpotensi bermata air. Sedangkan di tanah ketiga, mereka, para penggali upahan itu kewalahan menggali tanah. Entah mengapa, tanah yang tampaknya gembur itu, malah sealot karang. Aku memang di sana. Di tiga tempat tersebut. Sudah lama aku terpikat pada anak Haji Rushdie, a

Pulang

Gambar
                                                       Oleh: Edi Miswar Mustafa             Aku bersegera pulang ke tanah kelahiran. Pembantuku mengabari suatu urusan kampung semalam, urusan penting tentunya. “Suaminya meninggal,” ucap pembantuku ringkas. Kutanyakan padanya pukul berapa saat ini Indonesia Bagian Barat.             “Pagi hari, Mister .”             “Tolong persiapkan apa yang aku perlukan, oke. Aku hendak pulang sekarang.”             “Secepatnya, Mister .”             Aku pulang dengan seorang teman. Patricia, nama perempuan itu. Kami berangkat dengan jet yang baru kubeli, jet buatan Amerika. Kami singgah sekejap mengisi minyak di Teheran. Sesampainya di Aceh, tanah kelahiranku, jetku langsung mendarat di bandara kecil milik Pemda Pidie Jaya.             Patricia yang menemani perjalananku bertanya mengenai nama bandara itu. “Bandar Udara Malem Dagang?!” sahutku sembari mencoba mengingat-ingat asal-usul nama bandara itu. “Aku ingat, nama banda

Psikopat

                                                     Oleh: Edi Miswar Mustafa Tak ada cela padanya dalam setiap pandangan orang lain. Bahasa yang terbit dari mulutnya penuh dengan keteraturan yang menunjukkan bahwa ia satu pribadi yang terbentuk dari keluarga dan lingkungan orang-orang berpendidikan. Ia laki-laki pendiam. Peramah. Dan, suka menyendiri; tiga hal inilah yang selalu diingat oleh orang-orang yang mengenalnya setelah mass media memberitakan kesadisannya. Sebaliknya, ia, menurut beberapa wanita yang pernah dipacarinya adalah sosok pria yang romantis, galan, tetapi ia sendiri selalu merasa bahwa dilahirkan ke dunia adalah suatu kesalahan yang dilakukan Tuhan. Dunia ini adalah limbah yang dihuni manusia-manusia busuk, terutama yang berpayudara – mereka adalah makhluk laknat. Setelah ibunya dibawa lari laki-laki lain, ayahnya bunuh diri di suatu pagi yang bening, dan ia jadi anak jalanan selama beberapa tahun dan selalu mengantongi potongan kertas berisi pesan sang a

Penulis Buku

Lama ia tercenung memandang buku-buku itu. Ia masih mendengarkan semua penuturan laki-laki di hadapannya. Di sebelah kanannya suaminya seolah hendak mengatakan sesuatu yang tidak berkenan di hati. Namun ia abaikan polahnya dan pura-pura tidak melihat lagi muka asam itu. “Terimalah. Saya hanya meneruskan permintaannya.” “Kalau kami tidak mau menerimanya?” sahut suaminya. “Bang, Abang jangan begitu.” “Ya, saya kira tidak apa-apa. Lagipula saya tidak punya urusan, Anda akan membuang buku-buku ini atau membakarnya, terserah. Saya hanya berkewajiban mengantarkan,” kata laki-laki itu kemudian setelah beberapa lama terdiam. Sepasang suami istri melihat tubuh itu menjauh melewati pekarangan lalu seorang bintara berpangkat sersan satu membuka pintu dan tamu itu pun pergi bersama sedan berwarna hitam. Dua tahun lalu sebenarnya ia telah menerima kiriman satu kotak buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Inggris. Tapi yang membuatnya kembali teringat pada masa-masa itu a